Kemenag Terbitkan Aturan Baru Hitung Kebutuhan Penyuluh Agama Berbasis Beban Kerja

BeritaNasional.com - Kementerian Agama (Kemenag) menetapkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2025 tentang Pedoman Perhitungan Kebutuhan Jabatan Fungsional Penyuluh Agama. Regulasi ini menjadi acuan nasional dalam menghitung kebutuhan penyuluh agama berbasis beban kerja, kondisi umat, serta karakteristik wilayah binaan.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Abu Rokhmad menjelaskan bahwa penetapan peraturan ini merupakan bagian dari reformasi birokrasi berbasis data dan kinerja.
“Kami ingin memastikan penyuluh agama hadir secara proporsional dan tepat sasaran, tidak hanya berdasarkan persebaran populasi, tetapi juga beban kerja nyata yang dihadapi di lapangan,” ujarnya dikutip dari laman Kemenag, Minggu (13/7/2025).
Menurut Abu, penyuluh agama selama ini menjadi ujung tombak pembinaan umat di tingkat akar rumput. Oleh karena itu, ketersediaan dan kebutuhan mereka harus dihitung secara ilmiah, terukur, dan konsisten antarwilayah. “Selama ini belum ada pedoman baku secara nasional. Kini, semua daerah memiliki alat ukur yang sama,” tegasnya.
Regulasi ini juga memperkuat peran Kemenag sebagai instansi pembina jabatan fungsional penyuluh agama. Abu menekankan bahwa dengan hadirnya aturan ini, pihaknya dapat lebih tepat menetapkan kebutuhan formasi, distribusi, dan pembinaan karier penyuluh agama PNS.
“Fungsi penyuluh bukan hanya menyampaikan pesan-pesan agama, tetapi juga melakukan pendampingan sosial, pembinaan keluarga, pencegahan konflik, hingga mediasi problem keagamaan dan pembangunan,” katanya.
Karena itu, lanjutnya, kualifikasi dan jumlah penyuluh harus disesuaikan dengan ragam permasalahan umat yang mereka hadapi.
Peraturan ini juga menjadi instrumen untuk mengurangi ketimpangan jumlah penyuluh antarwilayah. Misalnya, antara wilayah perkotaan dan perdesaan, atau antara wilayah dengan komposisi keagamaan yang berbeda. “Melalui pendekatan beban kerja dan standar kemampuan rata-rata, kita bisa lebih objektif,” lanjut Abu.
Ia menyebutkan bahwa penyuluh agama akan semakin diakui kontribusinya, bukan hanya secara institusional, tetapi juga melalui pengembangan jenjang karier berbasis kinerja. “Setiap jenjang jabatan punya kontribusi tersendiri, dan semua diukur dengan jelas,” katanya.
Abu menjelaskan, perhitungan kebutuhan dilakukan untuk jangka waktu lima tahunan dan dirinci setiap tahun. Prosesnya akan melibatkan seluruh Kantor Wilayah Kemenag di daerah yang mengusulkan formasi berdasarkan kondisi aktual di lapangan.
“Ini bukan hanya soal angka, tapi tentang efektivitas kehadiran negara melalui penyuluh agama. Kami dorong semua pemangku kepentingan di daerah memahami dan mengimplementasikan pedoman ini secara serius,” pungkas Abu.
Sementara itu, Direktur Penerangan Agama Islam Kementerian Agama, Ahmad Zayadi, menjelaskan, metode perhitungan kebutuhan jabatan fungsional penyuluh agama dilakukan melalui pendekatan rasional dan teknokratis. “Kita gunakan rumus kontribusi dikali volume beban kerja, dibagi standar kemampuan rata-rata (SKR),” ujarnya.
SKR menggambarkan kemampuan rata-rata penyuluh untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu kerja efektif selama satu tahun.
“SKR ini dihitung berdasarkan norma waktu per jenis kegiatan, dan berbeda untuk setiap jenjang jabatan, mulai dari ahli pertama hingga ahli utama,” jelas Zayadi.
Volume beban kerja ditentukan berdasarkan indikator yang sangat spesifik, seperti jumlah umat binaan sesuai komposisi agama, ragam permasalahan keberagamaan, serta luas wilayah dan kondisi geografis.
“Semakin besar kompleksitas wilayah, semakin tinggi kebutuhan penyuluh,” imbuhnya.
Zayadi memaparkan, target kelompok sasaran ditetapkan pada rentang usia produktif, yaitu 5 hingga 50 tahun, karena kelompok ini dianggap paling strategis dalam pembangunan karakter dan pembinaan agama. “Ini pendekatan berbasis usia sasaran yang relevan dengan tantangan zaman,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa setiap jenis kegiatan penyuluhan memiliki SKR dan kontribusi yang berbeda. Sebagai contoh, pelaksanaan bimbingan agama memiliki kontribusi 50% di jenjang pertama, sementara pengembangan metode hanya 5% di jenjang utama.
“Ini menunjukkan distribusi kerja yang realistis dan proporsional antarjenjang,” katanya.
Zayadi memastikan bahwa hasil perhitungan dari setiap daerah akan divalidasi oleh Direktorat Jenderal untuk kemudian diajukan ke Menteri Agama dan diteruskan ke Kementerian PAN-RB.
“Prosesnya berjenjang dan berbasis data. Kita pastikan formasi yang diusulkan adalah kebutuhan nyata, bukan sekadar permintaan administratif,” tutupnya.
PERISTIWA | 5 jam yang lalu
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
EKBIS | 1 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 12 jam yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu