Diplomasi, Kata Kunci Indonesia di Tengah Perang yang Melebar

Oleh: Tim Redaksi
Rabu, 25 Juni 2025 | 15:30 WIB
Ali Mochtar Ngabalin. (Foto/istimewa)
Ali Mochtar Ngabalin. (Foto/istimewa)

BeritaNasional.com -  Ada pepatah Jawa: "Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti"—kekuatan keras pada akhirnya akan luntur oleh kelembutan dan kebijaksanaan. Kearifan ini tidak hanya berlaku lokal, namun untuk membaca dunia yang kini terbakar dalam logika perang asimetris dan dominasi narasi.

Dunia hari ini tidak lagi berperang dengan pedang. Perang modern dimulai dengan menghancurkan mikrofon—membunuh kebenaran. Hantaman rudal Israel ke studio IRINN saat siaran langsung pada 18 Juni 2025 adalah gambaran sempurna fifth generation warfare yang mengincar pikiran dan mentalitas, bukan hanya tubuh.

Presenter terpaku, kamera berguncang, lalu kepanikan tak terbayangkan. Dalam bahasa militer, ini "strike on soft target"—menghancurkan simbol legitimasi dan moral kolektif negara. Israel berdalih menyerang pusat komunikasi militer, namun yang dibungkam adalah suara media, bukan gudang senjata. Ketika dunia diam, yang dilegalkan adalah taktik information warfare yang menggiring opini global.

Selat Hormuz: Jalur Minyak Jadi Senjata Politik

Konflik Israel-Iran berubah menjadi hybrid war—kombinasi proxy, operasi udara, sabotase siber, hingga psychological operations. Titik krusial yang jadi taruhan adalah Selat Hormuz, chokepoint tempat sepertiga minyak dunia mengalir. Jika tertutup, 21 juta barel minyak per hari tertahan, harga bisa melonjak hingga USD 150 per barel.

Krisis energi akan menghantam negara berkembang seperti Indonesia dengan economic shock dan inflasi berujung gejolak sosial. Pedagang kaki lima tidak bisa berjualan karena ongkos transport membengkak, petani membeli pupuk mahal karena distribusi terganggu. Inilah collateral damage perang modern—korban di dapur rumah tangga biasa.

Plato dalam The Republic menulis bahwa negara adil mengatur nafsu kekuasaan dengan kendali akal. Ketika negara lebih sibuk mempertahankan narasi daripada melindungi nyawa, kita bicara tentang mesin propaganda, bukan negara. Serangan ke IRINN membuktikan perang hari ini tidak mencari kemenangan di medan laga, tetapi di ruang kesadaran manusia.

Indonesia: Dari Terdiam Menjadi Bersuara

Di tengah hiruk-pikuk ini, diam adalah penyerahan diri pada penyangkalan kebenaran. Dunia tidak kekurangan peluru, tetapi kekurangan keberanian menyebut kekerasan sebagai kekerasan. Indonesia, bangsa yang lahir dari luka penjajahan, memiliki kepekaan yang tidak boleh dibungkam ketakutan modern.

Kini kita menghadapi penjajahan baru: penjajahan informasi, energi, dan persepsi. Indonesia perlu menghidupkan diplomasi berbasis nurani—tidak hanya menghadiri konferensi, tetapi membentuk poros moral dalam pergaulan internasional. Dalam dunia yang dikendalikan logika deterrence, Indonesia harus membawa logika resilience yang dibentuk akal sehat dan kemanusiaan.

Peperangan ini mungkin membuat Amerika terpuruk jika ikut campur, mengingat keadaan ekonomi mereka yang tidak baik. Ketika rakyat mengalami kesulitan, Trump masih menyuplai senjata ke Israel, menciptakan polemik domestik. Banyak yang mengatakan kunci peperangan ada di Trump—presiden yang dikenal sebagai saudara Israel. Apakah dia rela mengorbankan ratusan juta rakyatnya demi dukungan militer kepada Israel?

Dalam era fifth generation warfare, musuh bukan hanya tentara—tetapi ketakutan, kebohongan, dan ketidakpedulian global. Yang dibutuhkan dunia bukan peta strategis, tetapi kompas moral. Indonesia, dengan warisan budaya dan komitmen non-blok, memiliki modal tersebut.

Ketika dunia kehilangan keberanian menyebut kebenaran, suara harus datang dari Timur—dari bangsa yang pernah dijajah tetapi tidak pernah tunduk. Dari Indonesia yang dalam alegori Sanskritnya berarti "pulau cahaya"—sudah saatnya menjadi cahaya di tengah kegelapan global.

Ketika badai mengamuk, nahkoda bijak tidak melawan ombak—tetapi menemukan arah angin untuk sampai ke pantai aman.

Oleh: 

 Ali Mochtar Ngabalin

Guru Besar Hubungan Internasional

Busan University of Foreign Studies (BUFS) Korea Selatan

Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional

 sinpo

Editor: Harits Tryan
Komentar: