BMKG: Modifikasi Cuaca Tidak Cukup, Strategi Pengendalian Karhutla Harus Berlapis

Oleh: Harits Tryan
Selasa, 29 Juli 2025 | 06:00 WIB
Kebakaran hutan dan lahan masih terjadi di beberapa wilayah Indonesia. (Foto/BNPB)
Kebakaran hutan dan lahan masih terjadi di beberapa wilayah Indonesia. (Foto/BNPB)

BeritaNasional.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan bahwa upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tidak bisa hanya mengandalkan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC). 

Dalam kondisi atmosfer tertentu khususnya ketika pertumbuhan awan hujan rendah upaya penyemaian tidak dapat dilakukan karena tidak ada awan potensial untuk disemai. Kondisi ini menuntut adanya kesiapsiagaan alternatif melalui peningkatan patroli darat, penjagaan ketat di titik-titik rawan, serta penguatan strategi pencegahan lainnya.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengungkapkan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat kuat antara curah hujan dengan tingkat kemudahan lahan terbakar. Analisis terhadap data curah hujan dasarian serta indeks Fine Fuel Moisture Code (FFMC) menunjukkan bahwa semakin rendah curah hujan, maka tingkat kekeringan lapisan bahan bakar ringan di permukaan tanah semakin tinggi, sehingga risiko lahan mudah terbakar meningkat secara signifikan. 

"Oleh karena itu, pemantauan curah hujan tidak hanya penting untuk memperkirakan potensi hujan, tetapi juga menjadi indikator utama dalam menentukan fase-fase rawan kebakaran hutan dan lahan," ungkapnya di Jakarta, Selasa (29/7/2025). 

Dwikorita menerangkan, keberhasilan OMC sangat bergantung pada faktor cuaca mikro dan makro, terutama pertumbuhan awan hujan yang ternyata sangat fluktuatif. Pertumbuhan awan ini, papar dia, dipengaruhi oleh dinamika atmosfer seperti aktivitas gelombang Kelvin dan Rossby Ekuator, suhu muka laut yang hangat, kelembaban udara, hingga labilitas atmosfer di skala lokal. 

Semua faktor tersebut menentukan seberapa besar potensi awan hujan bisa tumbuh di wilayah-wilayah prioritas seperti Sumatera dan Kalimantan. Ketika potensi pertumbuhan awan hujan rendah, OMC tidak dapat dijalankan walaupun risiko karhutla sangat tinggi. Dalam kondisi seperti ini, lanjut Dwikorita, intervensi non-OMC seperti patroli intensif, penjagaan wilayah, dan tindakan preventif lainnya menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia dan harus dijalankan secara maksimal.

BMKG, tambah Dwikorita, mencatat, periode akhir Juli hingga awal Agustus 2025 merupakan fase kritis yang perlu mendapatkan perhatian ekstra, khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Prediksi cuaca menunjukkan bahwa potensi pertumbuhan awan di Sumatera berada pada kategori tinggi antara 29–31 Juli, menurun sementara pada awal Agustus, dan kembali meningkat pada 3–4 Agustus. 

Di Kalimantan, pertumbuhan awan masih tergolong sedang hingga 30 Juli, namun mulai meningkat pada 31 Juli hingga puncaknya tanggal 3–4 Agustus. Pada saat-saat di mana potensi pertumbuhan awan hujan rendah dan Fire Danger Rating System (FDRS) tinggi, seluruh pemangku kepentingan di daerah harus mengaktifkan sistem kewaspadaan darat, termasuk pemetaan wilayah rentan, mobilisasi sumber daya pengendalian, serta pencegahan kebakaran sejak dini.

"Untuk mendukung upaya mitigasi, BMKG bersama BNPB, TNI AU, yang didukung Pemerintah Provinsi, telah melaksanakan OMC di sejumlah provinsi prioritas rawan karhutla, seperti Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi, dan Kalimantan Barat. Rata-rata efektivitas penyemaian hujan di wilayah-wilayah tersebut mencapai tingkat keberhasilan 85 hingga 100 persen, dengan akumulasi curah hujan mencapai lebih dari 586 juta meter kubik," paparnya. 

Di Provinsi Riau, jumlah titik panas (hotspot) yang semula mencapai 173 titik pada 19 Juli berhasil ditekan menjadi nol pada 28 Juli setelah OMC dilaksanakan secara konsisten sejak 21 Juli. Efek serupa juga tercatat di Sumatera Barat, yang mencatat penurunan dari 18 hotspot menjadi nol dalam waktu satu minggu. Selain itu, indikator keberhasilan lain juga terlihat dari penurunan jumlah stasiun Tinggi Muka Air Tanah (TMAT) yang berada dalam kategori rawan, terutama di Riau dan Sumatera Selatan. Penurunan ini menandakan meningkatnya kelembaban tanah sebagai dampak positif dari keberhasilan OMC.

Dwikorita menggarisbawahi bahwa keberhasilan OMC hanya bisa terjadi jika kondisi atmosfer mendukung. Maka dari itu, Pemerintah daerah dan seluruh elemen penanganan karhutla, harus memetakan secara rinci titik-titik rawan, menyusun kalender periode kritis berdasarkan kondisi lokal, serta menyiapkan berbagai skenario intervensi baik berbasis cuaca (OMC, TMC) maupun non-cuaca (patroli, edukasi masyarakat, larangan pembakaran lahan).

"Ketika awan tidak terbentuk, maka penyemaian atau OMC tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu, strategi pengendalian karhutla tidak boleh terpaku pada pendekatan tunggal dan harus berlapis," imbuhnya. 

Lebih lanjut, Dwikorita mendorong agar strategi pengendalian karhutla diterapkan secara berlapis, berbasis data, dan adaptif terhadap dinamika cuaca. Dengan keterbatasan OMC saat awan tidak terbentuk, maka kolaborasi lintas sektor dan partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci dalam menjaga lahan tetap aman, terutama selama puncak musim kemarau. Edukasi publik mengenai bahaya karhutla, pengawasan berbasis teknologi, serta pengelolaan sumber daya alam secara bijak perlu dijalankan secara konsisten. Hanya dengan pendekatan terpadu, risiko karhutla di tengah iklim yang semakin ekstrem dapat ditekan secara signifikan.

"BMKG akan terus menyampaikan informasi peringatan dini dan analisis iklim terkini kepada pemerintah daerah, instansi terkait, dan masyarakat luas guna mendukung kebijakan pencegahan karhutla yang lebih presisi dan berdampak langsung di lapangan," pungkasnya. sinpo

Editor: Harits Tryan
Komentar: