Bali Akan Larang Penggunaan Botol Air Mineral Plastik Kecil

Oleh: Dyah Ratna Meta Novia
Jumat, 06 Juni 2025 | 03:30 WIB
Ilustrasi wisata di Pulau Bali (Foto/Pixabay)
Ilustrasi wisata di Pulau Bali (Foto/Pixabay)

BeritaNasional.com - Pemerintah Provinsi Bali berencana melarang produksi botol air mineral dalam kemasan berkapasitas kurang dari satu liter sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi pencemaran plastik di pulau tersebut. Hal ini merupakan masalah yang memengaruhi sejumlah destinasi wisata yang populer di Pulau Dewata.

Pertemuan antara pemerintah daerah Bali dan sejumlah produsen air mineral dalam kemasan diselenggarakan bulan lalu di Denpasar, ibu kota Provinsi Bali. Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Bali I Wayan Koster secara resmi mengumumkan kebijakan baru tersebut, yang akan mulai diberlakukan pada Januari 2026.

Dia menyampaikan bahwa hampir semua lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) di seluruh pulau tersebut telah mencapai kapasitas maksimum, dengan sebagian besar sampah terdiri dari plastik sekali pakai, khususnya botol air mineral dalam kemasan.

"Para pelaku usaha harus segera menghentikan produksi mereka dan menjual stok yang tersisa. Per tahun depan, botol air mineral (dalam kemasan) di bawah satu liter tidak akan lagi diedarkan di seluruh Bali," tuturnya.

"Bali merupakan tempat yang dikagumi berkat budaya dan alamnya. Jika penuh dengan sampah, siapa yang akan berkunjung? Jika wisatawan menghilang, ekonomi akan berhenti tumbuh," tutur Koster, sembari berharap kebijakan itu akan membantu Bali menjadi model bagi daerah lainnya di Indonesia terkait pengadopsian kebijakan yang ramah lingkungan.

Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan surat edaran pada April yang menyoroti isu terkait. Dalam surat itu, penggunaan plastik sekali pakai seperti kantong dan sedotan dilarang di berbagai tempat, termasuk kantor pemerintahan, pasar, tempat usaha, lembaga publik, hingga tempat ibadah.

Selain itu, pihak pengelola tempat dan fasilitas tersebut wajib memiliki sistem pengelolaan limbah dan polusi yang memadai, misalnya, pemilahan sampah, pengomposan bahan organik, dan tempat daur ulang sampah anorganik.

Bagi pihak yang tidak mematuhi aturan ini, izin usahanya terancam dicabut. Sementara itu, desa yang mengabaikan kebijakan tersebut berisiko tidak lagi menerima bantuan sosial dari pemerintah.

Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, yang dioperasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, tumpukan sampah di Bali tahun lalu mencapai 1,2 juta ton, dengan Denpasar sebagai kontributor terbesar, menghasilkan limbah sekitar 360.000 ton.

Pada Februari, Institute for Essential Services Reform (IESR), wadah pemikir (think tank) dalam bidang kebijakan energi dan iklim yang berbasis di Jakarta, melaporkan bahwa timbulan sampah di Bali meningkat 30 persen dari 2000 hingga 2024, yang terutama disebabkan oleh kurangnya kesadaran terkait pengelolaan sampah di sebagian besar masyarakat.

"Meningkatnya tumpukan sampah, yang tidak dibarengi dengan kemampuan pengelolaan atau ketersediaan infrastruktur sampah di Bali, menyebabkan TPA-TPA tersebut tidak mampu lagi untuk mengakomodasi peningkatan volume sampah," ujar Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa.

Koster juga menyerukan kepada produsen botol air mineral dalam kemasan agar bersikap inovatif dan kreatif dalam menjaga kebersihan Bali dari polusi dan sampah.

"Banyak negara telah menyatakan apresiasi mereka terhadap pelarangan tersebut. Ini bukanlah pelarangan biasa. Ini merupakan langkah strategis bagi Bali untuk menjadi contoh global," tutur Koster.

Sumber: Antara
 sinpo

Editor: Dyah Ratna Meta Novia
Komentar: