Konvensi ILO Ditolak, Koalisi Ojol dan DPR Tegaskan Status Kemitraan Ojol

Oleh: Tim Redaksi
Rabu, 11 Juni 2025 | 11:29 WIB
Pengemudi Ojek Online. (BeritaNasional/Oke Atmaja)
Pengemudi Ojek Online. (BeritaNasional/Oke Atmaja)

BeritaNasional.com - Penolakan terhadap Konvensi ILO yang mengatur pekerja platform digital semakin menguat. Ketua Umum Koalisi Ojol Nasional (KON), Andi Kristiyanto, menyampaikan sikap tegas menolak intervensi lembaga internasional terhadap sistem kemitraan ojek online (ojol) di Indonesia.

Penolakan itu disampaikan sebagai respons atas pernyataan Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker, Indah Anggoro Putri, yang mewakili Menteri Ketenagakerjaan dalam forum ILO. Indonesia diketahui mendukung konvensi tersebut, yang dianggap KON bertentangan dengan realitas kemitraan ojol.

 “ILO nggak ada urusannya dengan nasib ojol di Indonesia, karena ojol bukan pekerja dan bukan buruh. Kami tolak intervensi ILO,” tegas Andi dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (11/6/2025).

Andi juga menilai ada pihak-pihak tertentu yang berupaya mengarahkan opini publik agar ojol dianggap sebagai pekerja tetap. Ia meminta pemerintah dan DPR tidak terpengaruh oleh narasi yang dianggap ditunggangi kepentingan tertentu.

Dukungan terhadap posisi Koalisi Ojol juga datang dari anggota Komisi IX DPR RI H. Obon Tabroni. Legislator dapil Bekasi itu menegaskan bahwa ojol bukan pekerja, melainkan mitra.

“Awalnya saya ragu, tapi setelah mendengarkan masukan dari Koalisi Ojol, saya sadar bahwa benar mereka bukan buruh. Mereka mitra,” ujar Obon, yang kini tergabung dalam tim revisi UU Ketenagakerjaan.

Koalisi Ojol Nasional juga membacakan petisi berisi empat poin penolakan, termasuk menolak politisasi isu ojol, keberatan atas pemotongan 10% tanpa kajian, serta menolak pengakuan ojol sebagai pekerja tetap. Rencana penerapan Konvensi ILO untuk mereklasifikasi mitra ojek online menjadi pekerja tetap dinilai bisa memicu gejolak ekonomi. 

Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, menyebut dampaknya bisa merembet ke UMKM, layanan publik, hingga meningkatnya angka pengangguran. Menurut Agung, jika reklasifikasi dipaksakan, hanya 10–30% mitra pengemudi yang bisa terserap sebagai karyawan. Sisanya, 70–90%, diprediksi akan kehilangan pekerjaan.

 “Pemaksaan kebijakan ini dapat menyebabkan efek domino berupa menurunnya pendapatan jutaan UMKM, meningkatnya pengangguran, dan hilangnya kepercayaan investor,” kata Agung.

Penurunan pendapatan UMKM, gangguan layanan logistik, dan risiko krisis sosial menjadi kekhawatiran utama.

 “Kita tidak bisa serta merta meniru negara lain tanpa kajian menyeluruh. Indonesia perlu melakukan regulatory impact assessment terlebih dulu,” tutup Agung.sinpo

Editor: Harits Tryan
Komentar: