Fenomena Pembunuhan dengan Mutilasi di Indonesia: Pelaku Alami Gangguan Jiwa, Apa Hukumannya?

Oleh: Tim Redaksi
Jumat, 24 Mei 2024 | 23:40 WIB
Ilustrasi pembunuhan. (Foto/Freepik
Ilustrasi pembunuhan. (Foto/Freepik

BeritaNasional.com - Pembunuhan yang disertai mutilasi nyatanya bukan fenomena baru di Indonesia.

Dari beberapa sumber data yang dihimpun, termasuk dari kepolisian, dalam kurun waktu 1960 hingga sekarang, ada sekitar 200 kasus mutilasi yang terjadi di Indonesia.

Ada beberapa kasus pembunuhan disertai mutilasi yang cukup menggemparkan masyarakat Indonesia.

Misalnya, kasus yang menjerat Siswanto alias Robot Gedek pada 1996 dengan korban 8 anak, Ryan pada 2008 dengan korban 11 orang, dan Baekuni (2010) dengan korban 14 anak.

Jika ditelisik dari faktor pendorong terjadinya mutliasi itu, ada penelitian oleh Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabarhakam) Polri Mohammad Fadil Imran dalam bukunya berjudul “Mutilasi dalam Perspektif Kriminologi’’.

Dalam buku itu, dijelaskan bahwa karakter sosiodemografi bisa menjadi faktor pendorong terjadinya pembunuhan dengan mutilasi. 

Tuntutan ekonomi dan tekanan psikologis yang dialami masyarakat akibat beban kehidupan yang tinggi menjadi pemicu kuat pembunuhan keji itu. 

Biasanya, pelaku pembunuhan dengan mutilasi adalah orang dekat, mulai dari keluarga inti, sanak famili, pacar atau pasangan, hingga rekan bisnis.

Belum luput dari ingatan kita soal kasus mutilasi yang baru-baru ini terjadi di Ciamis, Jawa Barat.

Seorang pria bernama Tarsum (41) membunuh dan memutilasi istrinya bernama Yanti (40).

Tarsum diketahui membunuh istrinya pada Jumat (3/5/2024) pagi sekitar pukul 07.30 WIB di Desa Cisontrol, Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. 

Diduga, ada faktor impitan ekonomi keluarga yang akhirnya pelaku tega melakukan pembunuhan itu.

"Dari keterangan saksi, ada masalah ekonomi," ujar Kapolres Ciamis AKBP Akmal yang dihubungi Beritanasional.com pada Senin (6/5/2024).

Akmal juga menjelaskan bahwa keluarga Tarsum terlilit pinjaman online atau pinjol. Namun, pihak kepolisian masih mendalami perihal pinjoĺ tersebut. 

"Soal pinjol atau lainnya masih perlu pendalaman," ujar Akmal.

Dia mengatakan anak Tarsum dan Yanti juga telah ikut diperiksa. Anak keduanya ini diduga juga terlilit masalah pinjaman online.

"Anak dari pelaku sudah kami mintai keterangan," ungkapnya.

Banyaknya orang dekat yang menjadi pelaku utama tindak kejahatan sadis itu karena sebagian besar motif pembunuhan bermotif personal. Misalnya, balas dendam atau sakit hati, persoalan asmara, dan gangguan jiwa yang diidap si pelaku.

Dalam kasus mutilasi di Ciamis ini, ada indikasi atau diduga pelaku Tarsum mengalami gangguan jiwa.

Kapolres Ciamis AKBP Akmal menyebut ada kelainan pada kondisi kejiwaan pelaku. "Pada saat diamankan, pelaku syok juga kejiwaannya, reaktif atau labil," tuturnya kepada Beritanasional.com pada Senin (6/5/2024).

Selain memutilasi istrinya, pelaku sempat menawarkan daging istrinya dengan cara ditenteng dalam baskom. Hal itu diungkapkan Ketua RT setempat Yoyo Tarya yang mengaku sempat ditawari daging dalam baskom oleh Tarsum.

"Awalnya, saya tidak tahu ada pembunuhan. Pelaku itu bawa baskom isi daging sambil berkata peser daging si Yanti, peser daging si Yanti (beli daging Yanti). Jadi, dagingnya dibawa keliling," ungkap Yoyo.

Dalam kasus ini, ada indikasi motif mutilasi akibat pelaku  depresi hingga mengalami gangguan jiwa.

Meskipun, ada juga beberapa motif pelaku mutilasi memotong tubuh korban. Misalnya, menghilangkan jejak serta melampiaskan emosi dan amarah kepada korban.

Ahli psikologi forensik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Lucia Peppy menjelaskan abnormalitas dalam gangguan jiwa ada tingkatannya: distress, disorder, dan abnormal.

Yang membedakan itu semua adalah kemampuan kontrol terhadap realitas dan ada tidaknya halusinasi.

Jika seseorang mengalami gangguan jiwa berat atau ada unsur psikotik, maka realitanya berbeda dengan kebanyakan orang.

Kalau seseorang tersebut sudah sampai memiliki realitas yang berbeda, sangat mungkin melakukan tindakan-tindakan yang beraneka rupa.

"Termasuk yang dipersepsikan oleh kita adalah menyakiti dan melukai. Dalam perspektif mereka, bisa saja memutilasi adalah aktivitas tertentu yang dalam persepsi dia bukan memotong tubuh istrinya. Realitas itulah yang perlu kita pahami," jelasnya yang dikutip dari laman BBC Indonesia.

Pada intinya, manusia secara naluriah tidak mungkin melakukan mutilasi. Menurut ahli anatomi dan histologi Ian Gibbins dari Flinders University, otak manusia secara alami akan dipersepsikan bahwa mutilasi adalah perbuatan keji yang harus dihindari.

Jika demikian, pelaku mutilasi memiliki gangguan terhadap naluri alamiahnya sehingga tega melakukan perbuatan keji tersebut.

Dari segi hukum, penegak hukum, baik polisi maupun hakim, bakal menjerat serta memvonis hukuman maksimal terhadap pelaku. Misalnya, hukuman penjara seumur hidup hingga hukuman mati seperti vonis terhadap Robot Gedek pada 1997, Ryan pada 2009, dan Baekuni pada 2010.

Ahli psikologi forensik dan kriminolog Reza Indragiri melihat banyak kasus tindak pidana yang pelakunya memiliki riwayat gangguan jiwa. Kepolisian kerap menghentikan kasus tersebut secara sepihak.

Sebab, ada Pasal 44 ayat 1 KUHP yang menyebutkan: barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana.

Menurut Reza, penghentian kasus secara sepihak ini tidak bisa dibenarkan dan tidak berperspektif keadilan kepada korban.

Keputusan apakah pelaku kejahatan yang memiliki gangguan mental itu layak dihukum atau tidak berada di tangan hakim.

Hal itu tertuang di ayat 2 yang menyatakan: jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

"Artinya ketika ada kasus pidana dan pelakunya ada gangguan jiwa, tetap harus sampai ke pengadilan. Karena di pengadilan diuji klaim kelainan jiwa itu. Bukan diuji di kantor polisi. Kalau hakim tidak teryakinkan dengan klaim itu, hakim tidak akan memerintahkan pengobatan. Proses persidangan akan berjalan sampai penghukuman," tandasnya.sinpo

Editor: Tarmizi Hamdi
Komentar: