Komisioner KTKI Tuntut Keadilan Usai Pemecatan Tanpa Proses Transparan

Oleh: Tim Redaksi
Minggu, 01 Juni 2025 | 01:09 WIB
Ilustrasi demonstrasi. (Foto/Freepik)
Ilustrasi demonstrasi. (Foto/Freepik)

BeritaNasional.com -  Keputusan mendadak untuk memberhentikan Komisioner Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) menuai sorotan.

Polemik ini muncul setelah terbitnya Keputusan Presiden Nomor 69/M Tahun 2024, yang mengakhiri masa jabatan para komisioner hanya delapan hari setelah diumumkannya seleksi calon pimpinan lembaga baru, yaitu Konsil Kesehatan Indonesia. Padahal, lembaga non-struktural lainnya umumnya diberi waktu lebih panjang, sekitar enam bulan, karena melibatkan pejabat negara.

Kuasa hukum KTKI, Yuherman, dan salah satu komisioner yang terkena dampak, Rachma Fitriati, menilai kebijakan tersebut melanggar asas pemerintahan yang baik (AAUPB), hak asasi manusia (HAM), serta prinsip kepastian hukum yang seharusnya dijaga.

“Sebagian dari kami terpaksa berpindah profesi secara mendadak. Bahkan ada yang kini menjadi pengemudi daring. Ini sangat menyakitkan,” kata Rachma Fitriati, salah satu Komisioner KTKI, dikutip dalam keterangannya, Minggu (1/6/2025).

Rachma menambahkan, pemberhentian tersebut dilakukan tanpa proses yang jelas, transparan, dan akuntabel. Berdasarkan Pasal 450 Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, lembaga seperti KTKI seharusnya masih memiliki wewenang dan tugas hingga struktur baru dibentuk secara sah.

“Pasal itu menjamin kelanjutan tugas kami. Tapi kenyataannya, kami diberhentikan mendadak dan secara sepihak,” ujar Rachma.

Ia juga menyoroti bahwa Sekretariat KTKI, yang kini menjadi Dirjen Nakes, tidak ada masa transisi yang sesuai dengan arahan dari Kemensesneg.

“Logikanya, Kemensesneg tidak bisa lebih berwenang daripada UU No. 17/2023 Pasal 450, yang jelas mencantumkan masa transisi hingga Konsil baru terbentuk,” tegas Rachma.

Senada dengan itu, kuasa hukum KTKI, Yuherman, juga mengungkapkan pandangannya dalam sidang terbuka perkara 7/G/2025 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Menurut Yuherman, pemutusan jabatan sebelum masa tugas berakhir, tanpa alasan yang sah secara hukum, adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan perlindungan hukum.

“Dalam sistem hukum yang sudah menetapkan masa jabatan tertentu, pemutusan sebelum waktunya hanya bisa dilakukan jika ada alasan yang sah berdasarkan hukum. Jika tidak, maka keputusan itu cacat hukum,” jelas Yuherman di hadapan majelis hakim.

Ia juga menekankan bahwa lembaga dan pejabat yang menjabat adalah dua entitas yang berbeda. Oleh karena itu, aturan peralihan harus mengatur bukan hanya struktur kelembagaan, tetapi juga nasib pejabat yang masih memiliki masa jabatan aktif.

“Setiap keputusan Tata Usaha Negara harus mengacu pada prinsip kepastian hukum dan perlindungan hak, termasuk hak ekonomi dan sipil yang melekat pada jabatan yang diangkat secara sah melalui SK Presiden,” tambah Yuherman.

KTKI telah melaporkan dugaan pelanggaran HAM ini kepada Komnas Perempuan, yang kemudian melayangkan surat tiga kali untuk meminta klarifikasi terkait proses seleksi yang berlangsung dalam waktu sangat singkat (8 hari).

Namun, Kemenkes belum memberikan jawaban hingga saat ini. Komnas Perempuan akhirnya menilai bahwa pemberhentian Komisioner KTKI ini tidak mempertimbangkan prinsip non-diskriminasi, keadilan sosial, serta perlindungan terhadap hak-hak konstitusional perempuan yang bekerja di sektor publik.

Lebih lanjut, sebagai Lembaga Non-Struktural (LNS) yang memperjuangkan hak-hak perempuan, Komnas Perempuan menyoroti pemberhentian Komisioner KTKI, terutama yang melibatkan perempuan, dan anggapan bahwa pengangkatan Konsil Kesehatan Indonesia bertentangan dengan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang telah diratifikasi dalam UU No. 11/2005, serta melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan ILO Nomor 158. Lembaga Non-Struktural ini juga mengeluarkan rekomendasi agar Kementerian Kesehatan meninjau kembali regulasi yang ada dan menjamin hak-hak korban.

Rachma pun menegaskan bahwa perjuangan ini bukan hanya soal mempertahankan jabatan, tetapi tentang penghormatan terhadap konstitusi, profesionalisme, dan hak-hak perempuan dalam pemerintahan.

“Negara boleh berubah, struktur bisa diperbaharui, tetapi keadilan tidak boleh dikorbankan. Kami hanya meminta agar hak kami dikembalikan dengan bermartabat dan sesuai hukum,” pungkasnya.sinpo

Editor: Imant. Kurniadi
Komentar: