Kontemplasi Penggunaan Bahasa Indonesia di Ruang Publik pada Momen Sumpah Pemuda 2025

Sudah kah Mengacu pada UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara?

Oleh: Tarmizi Hamdi
Rabu, 29 Oktober 2025 | 08:13 WIB
Ilustrasi papan reklame. (Foto/Freepik)
Ilustrasi papan reklame. (Foto/Freepik)

BeritaNasional.com - Hari Sumpah Pemuda II pada 28 Oktober 1928 menjadi momen bersejarah bagi bangsa Indonesia. Di momen itu, bahasa Indonesia disepakati sebagai bahasa persatuan bagi pejuang untuk merebut kemerdekaan dari penjajah.

Semangat tersebut seyogianya terus diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Pemerintah telah membuat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Sudah kah kita menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, setidaknya mengacu pada UU tersebut? Mari, kontemplasi.

Penggunaan Bahasa Indonesia di ruang publik, mulai dari percakapan sehari-hari hingga ranah komersial seperti penamaan merek dinilai masih belum maksimal dan belum sepenuhnya mengacu pada amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.

Hal ini disampaikan oleh Nazarudin M.A., dosen linguistik Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI).

Menurut dia, secara umum, masyarakat masih banyak menggunakan bahasa asing dan bahasa gaul. Hal ini menunjukkan tantangan besar dalam implementasi regulasi bahasa.

Dinamika Informal dan Etika Berbahasa

Pria yang pernah menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membagi penggunaan bahasa di ruang publik menjadi dua ranah: informal (percakapan sehari-hari) dan formal/komersial (merek, spanduk).

Di ranah informal, situasinya sangat dinamis, diwarnai maraknya penggunaan bahasa gaul, singkatan, dan campur kode, terutama dengan Bahasa Inggris, di kalangan muda dan media sosial.

"Hal ini menunjukkan dinamika dan kreativitas berbahasa, namun kadang mengabaikan etika dan kesantunan, misalnya penggunaan kata kasar yang dinormalisasi," ujar dosen lulusan Universitas Indonesia (S-1) pada 2005 dan Universitas Inha (S-2) pada 2010 itu kepada Beritanasional.com, Selasa (28/10/2025).

Nazarudin menyoroti bahwa masih banyak masyarakat yang memandang Bahasa Indonesia sekadar alat komunikasi, bukan sebagai identitas bangsa dan bahasa bermartabat yang harus diutamakan, sesuai semangat Sumpah Pemuda.

Penamaan Merek Asing dan Lemahnya Penegakan UU

Tantangan serupa juga terjadi di ranah formal. Menurut dia, penamaan jenama (merek) masih didominasi oleh bahasa asing, menandakan bahwa penerapan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan belum sepenuhnya berjalan.

Undang-undang tersebut secara tegas mewajibkan pengutamaan penggunaan Bahasa Indonesia di berbagai ranah publik, termasuk merek dagang dan periklanan.

"Meskipun semangat pengutamaan sudah jelas, implementasi di lapangan masih lemah," tegas Nazarudin. 

"Masalahnya bukan terletak pada tidak adanya undang-undang, melainkan pada kurangnya penegakan dan ketidakpedulian atau ketidakpahaman kolektif terhadap amanat undang-undang tersebut," ungkap dosen yang melanjutkan studi S-3 di Universitas Leiden tersebut.

Sinergi dan Peran Pemerintah Daerah Mendesak

Untuk memartabatkan Bahasa Indonesia dan mencapai implementasi UU No. 24 Tahun 2009 yang lebih baik, Nazarudin menekankan perlunya sinergi dari semua pihak.

Langkah-langkah yang Harus Dilakukan:

1. Badan Bahasa harus mengintensifkan program penyuluhan dan pendampingan, khususnya untuk pembuat kebijakan dan pelaku usaha. Selain itu, perlu terus mengembangkan dan memasyarakatkan standar Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI Adaptif) serta menyediakan sumber daya kebahasaan yang mudah diakses (KBBI, PUEBI) secara daring.

‘’Badan Bahasa harus bekerja sama dengan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan penegakan UU No. 24/2009. Di samping itu, kita perlu terus mengembangkan dan memasyarakatkan standar Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI Adaptif) dan menyediakan sumber daya kebahasaan yang mudah diakses (KBBI, PUEBI) secara daring,’’ paparnya.

2. Pemerintah Daerah (Pemda) harus diimbau untuk tidak abai dan memastikan kebijakan lokal, seperti izin pemasangan iklan dan penunjuk jalan, selalu mengutamakan Bahasa Indonesia dan meningkatkan penegakan UU No. 24/2009.

‘’Pemda harus diimbau untuk tidak abai dengan undang-undang dan memastikan kebijakan lokal, seperti izin pemasangan iklan dan penunjuk jalan, selalu mengutamakan Bahasa Indonesia,’’ jelasnya.

3. Dunia usaha dan individu didorong untuk bangga menggunakan Bahasa Indonesia yang kreatif dan benar dalam penamaan merek, alih-alih mengejar kesan modern dengan bahasa asing. 

Penggunaan bahasa asing diperbolehkan, namun Bahasa Indonesia harus tetap menjadi bahasa utama.

"Kita masih perlu mengintensifkan program penyuluhan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kita perlu mendorong dunia usaha agar bangga menggunakan Bahasa Indonesia yang kreatif dan benar dalam penamaan merek, alih-alih mengejar kesan "modern" dengan bahasa asing, dengan tetap menjamin Bahasa Indonesia menjadi bahasa utama, diikuti bahasa asing jika diperlukan,’’ tandasnya.sinpo

Editor: Tarmizi Hamdi
Komentar: