Desa Lapoa Jadi Laboratorium Toleransi di Tengah Gelombang Polarisasi
BeritaNasional.com - Di tengah gelombang polarisasi dan isu intoleransi yang masih menghantui sejumlah wilayah Indonesia, Desa Lapoa di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, tampil sebagai model harmoni sosial yang inspiratif. Desa yang bermula dari program transmigrasi pada tahun 1976 ini membuktikan bahwa perbedaan agama dan budaya justru menjadi fondasi kekuatan sosial.
Penemuan ini diungkap oleh Tim 15 Ekspedisi Patriot Universitas Indonesia (TEP UI) yang melakukan penelitian di daerah tersebut. Lapoa yang dihuni oleh keturunan transmigran dari Sunda, Jawa, dan Bali kini menjadi rumah bagi Muslim, Hindu, Budha, serta Kristen Katolik dan Protestan yang hidup rukun berdampingan.
Gotong Royong sebagai Modal Utama
Kehidupan inklusif di Lapoa terbentuk bukan dari warisan, melainkan dari perjuangan bersama dan nilai gotong royong yang kuat. Dedi Iskandar, Kepala Desa Lapoa dan anak dari transmigran asal Tasikmalaya, mengenang masa-masa awal desa itu berdiri.
“Dulu kami datang ke sini hanya untuk bertahan hidup. Sekarang kami hidup berdampingan tanpa sekat,” ujar Dedi Iskandar melalui keterangan pers Tim Ekspedisi Patriot UI pada Rabu (29/10/2025).
Darto, tokoh masyarakat yang merupakan transmigran spontan asal Cilacap, menceritakan bagaimana kesulitan hidup justru menyatukan warga.
“Dulu mungkin bisa dibilang kami menderita sekali. Sulit mencari air untuk minum, membuka lahan pun masih manual (belum ada traktor). Kami gotong royong untuk buka lahan,” kenang Darto.
Ia menambahkan bahwa kolaborasi lintas budaya tumbuh alami. Sebagai contoh, warga keturunan Bali membawa keahlian sistem irigasi yang akhirnya mengubah lahan lereng menjadi terasering produktif.
“Dulu kami belum kenal uang, semua orang menanam, jadi kami barter hasil kebun dengan ikan atau kebutuhan lain. Tapi masyarakat kompak, semua saling bantu. Kalau ada masalah, semua tokoh agama saya kumpulkan. Itu kuncinya,” tegas Darto.
Perbedaan Keyakinan Bukanlah Sekat
Di Lapoa, perbedaan latar belakang menjadi kekayaan yang saling melengkapi. Masing-masing kelompok membawa keahlian, mulai dari bertani padi, teknik irigasi, hingga kearifan budaya.
Salah satu simbol keterbukaan yang dihormati warga adalah Pak Gede, transmigran asal Bali yang telah menetap lebih dari empat dekade. Kehadirannya menunjukkan bahwa keyakinan dan perbedaan dapat berjalan tanpa saling meniadakan.
“Anak saya ada yang jadi mualaf dan baru pulang umrah. Nggak masalah. Yang penting dia bertanggung jawab dan menjalankan ajaran agamanya dengan baik,” ujar Pak Gede.
Bagi Pak Gede, toleransi adalah laku hidup sehari-hari, di mana perbedaan bukanlah sumber jarak, melainkan jembatan yang menghubungkan manusia.
Desa Percontohan Harmoni Sosial
Kuatnya kohesi sosial di Lapoa telah mendapat pengakuan resmi. Pada tahun 2017, pemerintah daerah menjadikan Lapoa sebagai desa percontohan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB).
Ketua Tim 15 Ekspedisi Patriot UI Dian Sulistyowati menilai kisah Lapoa sangat relevan di tengah meningkatnya polarisasi identitas di Indonesia.
Desa ini menunjukkan bahwa integrasi nasional tak lahir dari kebijakan besar, melainkan dari hal-hal sederhana: berbagi air, membuka pintu, dan saling percaya.
Lapoa membuktikan bahwa pembangunan bukan hanya menciptakan kesejahteraan, tetapi juga menumbuhkan kemanusiaan.
Diketahui, Ekspedisi Patriot UI merupakan kolaborasi antara Universitas Indonesia dan Kementerian Transmigrasi. Tim 15 yang terdiri atas alumni dan mahasiswa UI turun langsung ke lapangan untuk menggali praktik sosial dari program transmigrasi dan merumuskan rekomendasi kebijakan berbasis riset komunitas.
GAYA HIDUP | 2 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 1 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 2 hari yang lalu
EKBIS | 1 hari yang lalu
PERISTIWA | 1 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 13 jam yang lalu
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
EKBIS | 18 jam yang lalu






