Sebagian Penderita Autoimun Alami Depresi

Oleh: Dyah Ratna Meta Novia
Rabu, 03 April 2024 | 19:00 WIB
Penderita autoimun depresi (Foto/Your Tango)
Penderita autoimun depresi (Foto/Your Tango)

Indonesiaglobe.id - Hasil studi baru yang dipublikasikan di Rheumatology menunjukkan, lebih dari 50 persen orang dengan penyakit autoimun juga mengalami depresi dan gangguan kecemasan.

Menurut siaran buletin Health, sekitar 13 persen perempuan dan tujuh persen pria mengalami kelainan autoimun. Hasil penelitian juga menunjukkan, lebih dari separuh orang dengan penyakit autoimun jarang atau tidak pernah menyampaikan gangguan mental yang mereka alami ke penyedia layanan kesehatan.

"Rentang dan prevalensi gejala neurologis dan psikiatrik ini lebih tinggi dari yang sebelumnya ditemukan dan jauh lebih tinggi dari perkiraan klinisi," kata Melanie Sloan Ph.D, peneliti utama dalam studi tersebut dari Departemen Kesehatan Masyarakat dan Pelayanan Kesehatan Primer Universitas Cambridge kepada Health.

"Bagi pasien, bagian pentingnya adalah bahwa mereka tidak sendirian jika mereka mendapatkan jenis gejala ini, dan hanya dengan memberi tahu dokter mereka bisa mendapatkan dukungan," katanya.

Untuk lebih memahami korelasi kelainan autoimun dengan kondisi kesehatan mental, para peneliti melakukan survei pada hampir 1.900 orang dengan gangguan autoimun dan menanyakan gejala neurologis dan psikiatrik mereka. Para peneliti juga melakukan survei pada hampir 300 penyedia layanan kesehatan.

Sloan dan timnya menemukan bahwa di antara peserta survei sebanyak 55 persen orang mengalami depresi, 57 persen orang mengalami kecemasan, 89 persen orang mengalami kelelahan parah, dan 70 persen orang mengalami disfungsi kognitif seperti masalah memori.

Dikutip dari Antara, para peneliti mencatat orang dengan penyakit autoimun kecil kemungkinannya menyampaikan masalah kesehatan mental mereka atau meminta bantuan. Sebagian besar memilih diam karena takut akan menghadapi stigmatisasi.

Dia menjelaskan, lamanya waktu untuk mendiagnosis penyakit autoimun membuat banyak pasien kehilangan kepercayaan pada penyedia layanan kesehatan dan, dalam beberapa kasus, interpretasi sendiri tentang gejala mereka.

"Mereka takut bahwa jika mereka melaporkan gejala kesehatan mental atau neurologis, itu dapat menyebabkan mereka kembali ke hari-hari pra-diagnosis dan bahwa gejala penyakit masa depan mereka akan diabaikan sebagai akibat dari kesehatan mental," kata Sloan.

Hambatan lainnya adalah bahwa gejala kesehatan mental tidak selalu terlihat atau bisa diuji.sinpo

Editor: Dyah Ratna Meta Novia
Komentar: