Sedihnya Warga Palestina, Krisis Uang Tunai hingga Tak Bisa Beli Roti

Oleh: Dyah Ratna Meta Novia
Minggu, 07 Juli 2024 | 08:00 WIB
Warga Gaza kelaparan (Foto/Pixabay)
Warga Gaza kelaparan (Foto/Pixabay)

BeritaNasional.com - Seorang warga Palestina dari Deir al Balah di Gaza, Mohamed Al Kloub mengatakan, terdapat hari-hari ketika ia tidak bisa membeli sepotong roti untuk anak-anaknya. "Meskipun roti tersedia di toko dan saya mempunyai uang di rekening bank saya.”

Ia mengatakan, hal itu terjadi karena ia tidak dapat menarik uang yang dia simpan di bank. Situasi itu terjadi saat banyak toko tidak menerima transaksi elektronik.

Dikutip dari BBC, uang tunai menjadi sangat langka di Gaza dalam beberapa bulan terakhir, terutama setelah Israel membekukan alokasi pendapatan pajak Palestina untuk Gaza.

Pada beberapa bulan pertama serangan Israel ke Gaza, ketika jumlah pengungsi meningkat, warga Gaza mengantre di depan mesin ATM dan bank. Mereka berharap dapat menarik sejumlah uang tunai. Beberapa orang menunggu berhari-hari sebelum giliran mereka untuk menarik uang tiba.

Seiring berjalannya waktu dan meningkatnya jumlah bank yang hancur, beberapa warga dihadapkan pada apa yang oleh warga Gaza disebut sebagai mafia penukaran uang. Sebutan itu merujuk pada sekelompok orang yang melihat peluang untuk meraup keuntungan di tengah kekacauan dan kepanikan.

Pada 24 Maret silam atau enam bulan setelah Israel memulai serangan mereka ke Gaza, Otoritas Moneter Palestina mengumumkan, mereka tidak mungkin membuka kantor cabang yang tersisa di seluruh Jalur Gaza karena pemboman yang terus berlanjut, pemadaman listrik, dan situasi sulit di lapangan.

Situasi tersebut mengakibatkan krisis uang tunai yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagian besar ATM juga tidak dapat beroperasi.

Pada 11 Mei lalu, Otoritas Moneter Palestina meluncurkan layanan pembayaran elektronik instan, menggunakan layanan perbankan online, dompet elektronik, dan kartu bank.

Namun pemadaman internet merupakan masalah besar sehingga layanan ini tidak digunakan secara luas.

“Selama delapan bulan, saya hanya menemukan satu toko yang menerima transaksi elektronik, terutama sekarang ketika produk-produk dipajang dan dijual di “kios” di kamp, ​​​​bukan di toko,” kata Mohamed.

Untuk memahami apa yang menyebabkan krisis uang tunai saat ini di Gaza, publik perlu melihat lebih dekat sistem pembiayaan di Jalur Gaza.

Perekonomian Gaza sangat terkena dampak blokade yang diberlakukan sejak Hamas mengambil kendali penuh atas Jalur Gaza pada tahun 2007.

Israel mengatakan blokade diperlukan untuk menghentikan serangan kelompok militan tersebut.

Berbagai bank di Jalur Gaza berafiliasi dengan Otoritas Moneter Palestina dan pemerintah Otorita Palestina di Ramallah. Ada pula bank yang dimiliki oleh swasta atau berafiliasi dengan pemerintah Hamas.

Otoritas Moneter Palestina didirikan berdasarkan Perjanjian Paris, yang ditandatangani pada tahun 1994. Perjanjian ini merupakan ketentuan ekonomi yang melekat pada Perjanjian Oslo.

Perjanjian ini menempatkan perekonomian Palestina dan transaksi keuangannya di bawah pengawasan dan kendali langsung sistem perbankan Israel.

Berdasarkan Perjanjian Paris, Israel memungut pajak atas nama Otoritas Palestina. Israel lalu mengirim dana itu setiap bulan ke Otoritas Moneter. Syaratnya, pengiriman dana itu membutuhkan persetujuan dan tanda tangan dari Kementerian Keuangan Israel. 

Jumlah dana yang dikirim tidak utuh karena otoritas Israel juga mengambil sebagian pajak yang mereka himpun tersebut.

Dana tersebut, yang dikenal sebagai pendapatan pajak, merupakan bagian terbesar dari pendapatan keuangan Otoritas Palestina. Sebagian besar dana itu dialokasikan ke Jalur Gaza.

Ketika Hamas menguasai Jalur Gaza pada tahun 2007, ribuan pegawai sipil di Gaza terus menerima gaji dari Otoritas Palestina. Dana tersebut ditransfer melalui bank-bank di Gaza yang berafiliasi dengan Otoritas Moneter.

Uang tunai juga masuk ke Gaza dalam bentuk bantuan dari Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi (UNRWA) serta bantuan dari Qatar, yang dianggap sebagai sumber utama dolar di Gaza.

Ahmed Abu Qamar, seorang peneliti ekonomi Palestina di Gaza, menggambarkan aliran pendapatan ini sebagai jalur resmi untuk mendapatkan uang tunai.

Abu Qamar mengatakan, terdapat juga jalur tidak resmi, yang disebut sebagai “ekonomi bayangan” yang terjadi dengan mengubah barang menjadi uang tunai.

"Namun uang tunai yang dihasilkan melalui jalur tidak resmi tidak muncul dalam siklus moneter atau jumlah uang beredar,” kata Abu Qamar.

Dia menekankan, seluruh sumber daya keuangan Gaza tidak cukup untuk membangun siklus ekonomi yang sehat, yang memungkinkan lebih dari dua juta warga di Jalur Gaza dapat hidup normal.

Tiga mata uang yang digunakan dalam transaksi keuangan di Gaza antara lain Shekel Israel, mata uang yang paling banyak digunakan, dan dasar transaksi sehari-hari, lalu Dolar AS, digunakan dalam impor, transaksi komersial internasional, dan pembelian produk mewah seperti mobil, dan Dinar Yordania, secara tradisional digunakan untuk membayar mahar pernikahan, membeli properti atau tanah, dan membayar biaya universitas.

Sejak awal Oktober 2023, pemerintah Israel menolak mengirim pendapatan pajak yang dialokasikan ke Jalur Gaza ke Otoritas Moneter Palestina. Israel berpendapat, dana ini digunakan untuk membiayai gerakan Hamas.

Pada November 2023, Kementerian Keuangan Palestina mengumumkan bahwa Kementerian Keuangan Israel memotong 600 juta shekel dari pendapatan pajak bulanan dengan dalih bahwa sebagian dari jumlah tersebut mencakup gaji, alokasi karyawan, dan pengeluaran untuk Jalur Gaza. Angka 600 juta shekel setara Rp 2,6 triliun.

Pada awal tahun ini Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, mengancam akan mencabut seluruh pendapatan pajak Otoritas Palestina jika sepeser shekel masuk ke Gaza.

“Tidak ada satu shekel pun yang akan masuk ke Gaza,” tulisnya dalam sebuah postingan di media sosial pada Januari lalu.sinpo

Editor: Dyah Ratna Meta Novia
Komentar: