1 Oktober Hari Apa? Peristiwa Tewasnya 7 Perwira TNI AD
BeritaNasional.com - Tanggal 1 Oktober hari apa? Pada 1 Oktober 1965 itu, terjadi pembunuhan terhadap tujuh perwira TNI AD.
Mereka Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R. Suprapto, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, dan Lettu Pierre Tendean.
Mereka juga dikenal sebagai pahlawan revolusi yang diyakini menjadi penghalang kelompok PKI untuk melancarkan rencana mengudeta Presiden Soekarno kala itu.
Meninggalnya para pahlawan tersebut diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila dan ditetapkan sebagai hari nasional di Indonesia yang diperingati setiap 1 Oktober sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967.
Penetapan tanggal tersebut dilakukan setelah adanya Peristiwa Gerakan 30 September yang dikenal sebagai G30S atau G30S/PKI.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat tanggal 17 September 1966 (Kep 977/9/1966).
Sejarah Hari Kesaktian Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara sempat mengalami berbagai tantangan sepanjang sejarahnya.
Salah satu peristiwa yang sangat berpengaruh terhadap pengakuan dan penghormatan terhadap Pancasila adalah Tragedi G30S PKI.
Pada peristiwa tragis ini, enam perwira tinggi dan satu perwira menengah TNI AD tewas dalam upaya kudeta PKI.
Tragedi G30S PKI merupakan salah satu babak kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Percobaan kudeta ini bertujuan menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno dan menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Peristiwa ini juga menandai upaya PKI untuk mengubah Pancasila menjadi ideologi komunis.
Dalam peristiwa ini, beberapa perwira angkatan darat dan sejumlah orang lainnya menjadi korban pembunuhan yang dianggap sebagai upaya perebutan kekuasaan.
Hingga saat ini, peristiwa G30S PKI masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi mengenai pelaku dan motif di baliknya.
Untuk mengenang peristiwa yang hampir mengancam eksistensi ideologi bangsa Indonesia, pemerintahan Orde Baru menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila melalui Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat tanggal 17 September 1966 (Kep 977/9/1966).
1. Jenderal Ahmad Yani
Jenderal Ahmad Yani merupakan salah satu tokoh militer penting di Indonesia pada masanya. Lahir di Purworejo, 19 Juni 1922, Ahmad Yani dikenal sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Ia gugur setelah ditembak di rumahnya pada malam peristiwa G30S/PKI. Ahmad Yani juga dikenal sebagai sosok yang anti-komunis dan lantang menentang ideologi tersebut, sehingga ia sempat menunda perintah Presiden Soekarno yang saat itu lebih condong ke PKI.
Ahmad Yani pun pernah mengenyam pendidikan Heiho (tentara pembantu betukan Jepang) dan bergabung dalam Pembela Tanah Air (PETA) tahun 1943.
2. Letnan Jenderal Suprapto
Letnan Jenderal Suprapto lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920. Suprapto terakhir menjabat sebagai Deputi (Wakil) Kepala Staf Angkatan Darat Sumatera wilayah Medan.
Saat kembali ke Jakarta, ia menjadi perwira tinggi Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal. Pada malam G30S/PKI, Suprapto diculik dari rumahnya dengan alibi panggilan menghadap Presiden Soekarno dan ternyata dibawa ke Lubang Buaya, dimana ia dibunuh oleh kelompok PKI.
Suprapto pernah bergabung dalam pelatihan militer Koninklijke Militaire Akademie di Bandung, tetapi tidak selesai karena Jepang datang menjajah Indonesia.
Dirinya sempat ditahan di penjara, namun berhasil melarikan diri. Kemudian, ia bergabung dalam pelatihan keibodan, syuisyintai, dan seinendan yang dibentuk oleh Jepang.
Setelah merdeka, Suprapto bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kemudian pernah ditugaskan di Semarang sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial IV/Diponegoro dan pindah ke Jakarta menjabat sebagai Staf Angkatan Darat dan Kementerian Pertahanan.
3. Letnan Jenderal M.T. Haryono
Lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924, Letnan Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono atau yang dikenal dengan nama M.T. Haryono adalah seorang perwira Angkatan Darat yang cerdas dan fasih berbahasa Belanda, Inggris, dan Jerman.
Pada saat peristiwa G30S/PKI, M.T. Haryono ditangkap di kediamannya dan menjadi korban kekejaman gerakan tersebut.
Haryono pernah mengeyam pendidikan sekolah tinggi kedokteran Ika Dai Gakko, namun tidak sampai selesai karena Jepang sudah menyerah.
Setelah Indonesia merdeka, ia pernah bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai Mayor. Setelah itu, ia diangkat sebagai Deputi III Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani divisi pembinaan dan perencanaan.
4. Letnan Jenderal S. Parman
Letnan Jenderal S. Parman yang lahir pada 4 Agustus 1918 di Wonosobo adalah perwira intelijen yang berperan besar dalam melawan gerakan-gerakan separatis.
S. Parman sudah lama menjadi incaran PKI karena telah mengetahui rencana partai tersebut. Ia menjadi salah satu target utama untuk dibunuh oleh kelompok G30S/PKI.
Parman pernah mengenyam pendidikan kedokteran, namun terhenti karena Jepang masuk ke Indonesia. Setelah itu, ia menjadi polisi militer yang disebut sebagai Kempetai. Kemudian, ia berangkat ke Jepang untuk melakukan pelatihan intelijen.
Saat kembali ke Indonesia, ia bergabung TKR yang tak lama kemudian menjabat sebagai Kepala Staf Polisi Militer di Yogyakarta. Ia pun kembali naik pangkat sebagai Mayor Kepala Staf Gubernur Milter di Jabodetabek.
Berangkat ke Amerika untuk bersekolah polisi, Parman juga pernah menjabat di markas besar Polisi Militer Indonesia, militer Indonesia di London dan Inggris, hingga Departemen Pertahanan Indonesia. Kemudian pulang ke Indonesia, menjadi asisten intelijen KSAD Jenderal Ahmad Yani.
5. Mayor Jenderal D.I. Panjaitan
Mayor Jenderal Donald Izacus Panjaitan, lahir di Balige, Sumatera Utara, pada 9 Juni 1925. Ia merupakan tokoh militer yang dihormati karena kedisiplinannya. Selain itu, D.I. Panjaitan juga dikenal sebagai seorang yang religius.
Sampai akhir hayatnya, ia menjabat menjadi asisten IV Panglima Angkatan Darat. Ia diculik dan dibunuh di depan keluarganya oleh anggota G30S/PKI.
Awalnya Panjaitan pernah menjadi tentara sukarela anggota Gyugun di Pekanbaru. Tahun 1945, ia bergabung bersama TKR dan menjadi komandan batalyon. Setelah dua tahun kemudian, ia diamanatkan sebagai Komandan Pendidikan divisi IX/Banteng Bukittinggi.
Setelah itu, ia pindah ke Komandemen Tentara Sumatera sebagai Kepala Staf Umum IV, lalu menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia saat Agresi Militer Belanda yang ke I dan II.
Ketika Indonesia merdeka, Panjaitan beralih menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan di wilayah Medan. Kemudian pindah lagi menjadi Kepala Staf T dan T II/Sriwijaya.
Panjaitan pun pernah diberangkatkan ke Amerika tahun 1963 untuk belajar militer di Associated Command and General Staff College di wilayah Fort Leavenworth dan tahun 1965 kembali belajar terkait atase militer. Kemudian diangkat menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal AH Nasution di bagian logistik.
6. Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo
Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen pada 28 Agustus 1922. Sutoyo sebagai perwira yang bertugas di bidang hukum militer yakni Inspektur Kehakiman Jenderal/Oditur Angkatan Darat.
Ia juga menjadi salah satu penentang dalam pembentukan angkatan kelima, sehingga menjadi korban penculikan dan pembunuhan dalam peristiwa G30S/PKI.
Sutoyo berhasil menyelesaikan pendidikan AMS, lanjut ke sekolah pendidikan pegawai negeri di Jakarta. Setelah lulus, ia menjadi pegawai pemerintah di Purworejo dan tahun 1944 berhenti.
Setelah berhenti, ia memilih bergabung dalam satuan polisi TKR. Kemudian dipercayai menjabat komandan polisi militer dari Jenderal Gatot Subroto. Ia menjadi kepala staf Markas Besar Polisi Militer, lalu mendapat tugas menjadi asisten atase militer di kedubes Indonesia di Inggis.
Sutoyo selesai bersekolah di staf dan komando Bandung pada 1960. Ia diangkat menjadi Inspektur Kehakiman Angkatan Darat dan tak lama menjadi Inspektur Kehakiman/Jaksa Militer Utama dan naik pangkat sebagai Brigadir Jenderal TNI.
7. Kapten Pierre Tendean
Kapten Pierre Tendean adalah perwira muda berbakat yang lahir di Batavia (Jakarta) pada 21 Februari 1939. Meskipun masih muda, Pierre Tendean dipercaya sebagai ajudan Jenderal A.H. Nasution.
Pada malam G30S/PKI, ia ditangkap oleh pemberontak karena disangka sebagai Nasution dan kemudian dibunuh.
Setelah selesai menamatkan sekolahnya, Pierre melanjutkan sekolah militer Akademik Teknik Angkatan Darat. Ia juga pernah bergabung dalam menumpas pemberontakan PRRI di Sumatera.
Pierre pernah menjabat sebagai Letnan Dua, Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan dan Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD). Kemudian, ia dipercayai menjadi ajudan Jenderal AH Nasution.
5 bulan yang lalu
DUNIA | 14 jam yang lalu
GAYA HIDUP | 2 hari yang lalu
HUKUM | 14 jam yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
EKBIS | 1 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 23 jam yang lalu