Masyarakat Tidak Perlu Panik dengan Kebijakan Tarif Barui AS

Oleh: Ahda Bayhaqi
Jumat, 18 April 2025 | 16:30 WIB
Masyarakat beraktivitas di Jakarta. (BeritaNasional/Oke Atmaja)
Masyarakat beraktivitas di Jakarta. (BeritaNasional/Oke Atmaja)

BeritaNasional.com - Masyarakat Indonesia tidak perlu panik dengan kebijakan tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. 

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Bertu Merlas mengatakan, meski ada dampaknya, tambahan bea impor dari AS tidak signifikan bagi pasar ekspor Indonesia.

"Kalau untuk bea impor ke AS sebenarnya tidak terlalu signifikan dampaknya karena volume ekspor ke Amerika Serikat relatif tidak terlalu besar. Tapi, yang kita khawatirkan sebenarnya adalah efek domino dari kebijakan tersebut atau sentimen negatifnya ke negara-negara lain," ujar Bertu Merlas dalam keterangannya yang dikutip pada Jumat (18/4/2025).

Perang tarif Trump membuat negara lain melakukan proteksi yang mengurangi pangsa dunia. Bertu menjelaskan kondisi ini akan membuat perlambatan ekonomi dunia. 

Termasuk para investor yang menahan modal mereka dan mengalihkan ke safe haven asset alih-alih menanamkan modal mereka untuk usaha produktif. 

"Apabila terjadi perlambatan ekonomi pada negara-negara yang menjadikan Amerika sebagai pangsa pasar maka negara-negara tersebut juga akan kurang membeli bahan baku. Indonesia adalah eksportir bahan baku terbanyak. Jadi kalau mereka kurang membeli bahan baku di Indonesia maka komoditas unggulan Indonesia akan turun. Ini yang berdampak pada Indonesia," jelasnya.

Bertu mengatakan, dari dinamikanya terjadi perang dagang Amerika Serikat dan Cina. Kedua negara saling balas bea impor.

"Meskipun dalam fase awal perang dagang dua negara berdampak ke situasi dalam negeri masing-masing namun kedepannya bisa memberikan dampak ke negara lain termasuk Indonesia," katanya. 

Bertu mengungkapkan Indonesia harus cerdas dalam menempatkan posisi agar tidak terjebak dalam perang dagang Amerika Serikat dan China. 

Salah satu yang harus diwaspadai adalah jika China terpaksa stop ekspor mereka ke Amerika Serikat maka dipastikan ada penurunan permintaan bahan baku dari negara tirai bambu ke Indonesia. 

"Jika permintaan pembelian bahan baku menurun maka harga jual akan turun dan berdampak pada harga komoditas bahan baku," katanya. 

Berdasarkan Laporan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas Indonesia ke China didominasi besi dan baja sejak 2022. Pada 2022, ekspor besi dan baja mencapai 29,9 persen, berlanjut pada Januari- Agustus 2023 yang mencapai 28,29 persen. Sebelumnya, ekspor ke China didominasi bahan bakar mineral yang mencapai 29,62 persen pada 2021, lalu turun menjadi 24,40 persen pada 2022 dan 26 persen hingga Agustus 2023 yang menandakan ada peralihan struktur ekspor nonmigas Indonesia ke Cina. 

Legislator asal Dapil Sumsel II ini mendesak pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi termasuk melakukan deregulasi. Menurutnya Indonesia berpeluang menjadi tujuan investor yang keluar dari negara-negara lain seperti Vietnam, Bangladesh, hingga China. 

"Ada negara-negara yang mempunyai bea impor tinggi yang bisa membuat investor lari. Mereka bisa saja lari ke Indonesia jika kita mempunyai daya tawar lebih termasuk regulasi yang mendukung," katanya.sinpo

Editor: Tarmizi Hamdi
Komentar: