AS Tak Berhak Keluhkan soal QRIS

BeritaNasional.com - Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai keluhan Amerika Serikat (AS) terhadap Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) tidak memiliki dasar kuat. AS sebenarnya tak perlu mengeluhkan soal QRIS.
Sebab, QRIS sejak awal dirancang sebagai instrumen untuk memperluas inklusi keuangan, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia.
“Target utama QRIS adalah untuk mendorong inklusi keuangan, termasuk untuk UMKM. Jika (perusahaan) asing akan bergabung dengan QRIS, masih terbuka lebar, tinggal melakukan aplikasi ke BI (Bank Indonesia),” kata Wijayanto.
Sebagaimana diketahui, AS melalui Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menyampaikan keluhan terhadap QRIS. Mereka menilai pihak asing, termasuk penyedia jasa pembayaran dan bank asal AS, tidak dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan tersebut.
Keluhan itu tertuang dalam dokumen National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang dirilis USTR pada 31 Maret 2025.
Di dalamnya disebutkan bahwa para pemangku kepentingan (stakeholders) internasional tidak diberi ruang untuk menyampaikan pandangan atau menjelaskan cara sistem pembayaran mereka dapat diintegrasikan dengan kebijakan QRIS yang berlaku di Indonesia.
“Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia jasa pembayaran dan bank, menyampaikan kekhawatiran bahwa selama proses perumusan kebijakan QRIS oleh BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberi informasi mengenai sifat perubahan yang mungkin terjadi, maupun kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka terkait sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem itu seharusnya dirancang agar dapat terintegrasi secara optimal dengan sistem pembayaran yang sudah ada," tulis dokumen tersebut.
Menanggapi hal itu, Wijayanto memandang salah satu alasan QRIS kurang diminati perusahaan sistem pembayaran global seperti Visa dan Mastercard adalah karena skema biaya transaksinya yang jauh lebih rendah.
“Misalnya untuk UMKM, transaksi di bawah Rp 500 ribu fee-nya nol, bandingkan dengan VISA atau Mastercard yang bisa mencapai 1,8 persen sampai dua persen,” jelasnya.
Selain itu, terkait dengan keluhan serupa terhadap sistem Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), Wijayanto menegaskan bahwa regulasi yang ada justru mendorong kompetisi yang sehat.
Ia menilai GPN tidak membatasi, justru membuka ruang bagi semua pemain termasuk perusahaan asal AS.
Meski demikian, GPN dan QRIS memang menawarkan biaya jasa yang jauh lebih rendah dibanding pemain asing.
"Bagi kita, GPN adalah sesuatu yang logis. Transaksi di Indonesia, dua pihak dari Indonesia, menggunakan rupiah, berlokasi di Indonesia. Sesungguhnya tidak ada alasan mengapa proses dan service-nya harus di luar negeri, selain mahal juga tidak efisien,” tuturnya.
Maka dari itu, Wijayanto mengingatkan agar pemerintah Indonesia tetap bersikap tegas dalam menjaga kepentingan nasional yang bersifat mutlak dan tidak dapat dikompromikan.
"Kita tidak perlu terlalu terprovokasi oleh permintaan AS. Namanya juga negosiasi, mereka pasti memulai dengan call yang tinggi, apalagi merasa di atas angin," katanya.
Sumber: Antara
GAYA HIDUP | 2 hari yang lalu
DUNIA | 1 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 2 hari yang lalu
EKBIS | 2 hari yang lalu
PERISTIWA | 15 jam yang lalu
DUNIA | 1 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
EKBIS | 22 jam yang lalu
HUKUM | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 20 jam yang lalu