Ketua Yayasan RSI NTB Resmi Diganti, Ini Susunan Pengurus Baru

BeritaNasional.com - Setelah diguncang serangkaian polemik internal dan aksi massa yang menuntut pembenahan total, Yayasan Rumah Sakit Islam (RSI) Nusa Tenggara Barat (NTB) akhirnya melakukan pergantian dalam struktur kepengurusannya. Ketua Yayasan sebelumnya, Lalu Imam Hambali, resmi tidak lagi menjabat.
Perubahan kepengurusan ini tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 0035/SK/Yarsi.NTB/IV/2025 tentang Pengesahan Pengangkatan Organ Yayasan RSI NTB, yang ditetapkan pada 2 Juni 2025. SK tersebut ditandatangani oleh Ketua Pembina Yayasan, H. Lalu Azhar, dan anggota Pembina lainnya.
Perubahan kepengurusan ini tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 0035/SK/Yarsi.NTB/IV/2025 tentang Pengesahan Pengangkatan Organ Yayasan RSI NTB.
"Surat Keputusan Pengurus Pembina Yayasan Rumah Sakit Islam Nusa Tenggara Barat, Nomor 0035/SK/Yarsi.NTB/IV/2025, tentang pengesahan pengangkatan organ yayasan RSI, NTB," tulis SK tersebut dikutip Rabu (4/6/2025).
Berikut adalah struktur pengurus baru Yayasan RSI NTB berdasarkan SK tersebut:
1. Lalu Muh. Imam Sapi’i – Ketua Pengurus Yayasan
2. Lalu Farhan Surya Dinata – Sekretaris Yayasan
3. Lily Vijayanti Mala – Bendahara Yayasan
4. Ahmad Taufik – Pengawas Yayasan
Pergantian ini disebut sebagai langkah awal dalam upaya pemulihan marwah yayasan serta membenahi tata kelola manajemen internal yang selama ini dinilai bermasalah.
Pergantian kepengurusan ini tidak lepas dari tekanan publik dalam sejumlah aksi, dan memuncak dalam bentuk aksi demonstrasi pada 2 Juni 2025. Ratusan massa yang menamakan diri Balka Yarsi berunjuk rasa di depan kantor Yayasan RSI NTB, menuntut reformasi total dan pencopotan pimpinan yayasan.
Massa menyoroti dua isu besar, dugaan penggelapan dana pajak yayasan senilai Rp3 miliar, yang terjadi antara tahun 2013–2015. Pemotongan sepihak gaji karyawan dengan dalih "infak", tanpa dasar hukum dan persetujuan transparan.
Saat itu, Korlap aksi, M. Munip menyebut pengurus lama telah mencemari integritas yayasan, bahkan menyebut ada unsur “pengkhianatan” terhadap amanah publik yang dipercayakan kepada yayasan.
Dalam dokumen yang diungkap massa aksi, terungkap bahwa Yayasan sempat menerima tagihan pajak sebesar Rp13 miliar. Setelah proses keberatan, jumlah yang harus dibayar sebenarnya hanya Rp2,417 miliar.
Namun dalam rapat yang dipimpin Ketua Yayasan dan Ketua Pembina pada 2015, disepakati pembayaran pajak sebesar Rp5,5 miliar, tanpa penjelasan mengenai selisih lebih dari Rp3 miliar tersebut. Dana Rp3 miliar disebut telah dibayarkan kepada konsultan pajak, tetapi penggunaannya tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Ini kami anggap penggelapan dana yayasan. Kalau tidak ada penjelasan resmi, maka patut diduga ada penyalahgunaan dana publik," ujarnya.
Selain pergantian ketua yayasan, massa juga menuntut dilakukan audit keuangan menyeluruh oleh auditor independen. Audit tersebut diharapkan dapat mengungkap seluruh penggunaan dana yayasan selama beberapa tahun terakhir, termasuk dugaan aliran dana untuk kepentingan pribadi.
Meski kepengurusan baru telah ditetapkan, posisi Ketua Pembina Yayasan RSI NTB, H. Lalu Azhar, yang namanya juga disebut-sebut dalam dugaan kasus pajak, masih belum berubah. Hal ini memicu tanda tanya di kalangan pengunjuk rasa, yang sebelumnya mendesak agar pembina yayasan turut dimintai pertanggungjawaban.
Pergantian Ketua Yayasan disambut baik oleh sebagian masyarakat sebagai angin segar untuk memulai pembenahan internal. Namun demikian, publik masih menanti langkah konkret lain dari pengurus baru untuk menegakkan transparansi, integritas, dan akuntabilitas di tubuh yayasan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Ketua Yayasan yang baru maupun dari Ketua Pembina Yayasan RSI NTB terkait rencana tindak lanjut atas tuntutan audit dan dugaan pelanggaran sebelumnya.
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
POLITIK | 2 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 1 jam yang lalu
GAYA HIDUP | 1 hari yang lalu
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
HUKUM | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
EKBIS | 2 hari yang lalu
DUNIA | 2 hari yang lalu
HUKUM | 2 hari yang lalu