Menyelesaikan Schooling Without Learning dengan Pembelajaran Mendalam

BeritaNasional.com - Pernahkah kita mencermati bahwa murid pergi ke sekolah hampir setiap hari, menghabiskan waktu berjam-jam di kelas, namun tidak menunjukkan hasil pembelajaran yang bermakna? Fenomena ini dikenal sebagai schooling without learning atau bersekolah tanpa terjadi pembelajaran.
Staf Ahli Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Bidang Teknologi Pendidikan Ir. Moch. Abduh, MS.Ed., Ph.D. mengatakan tantangan serius ini dihadapi banyak sistem pendidikan di dunia. Menurut dia, fakta ini bukan berarti tidak ada aktivitas di sekolah. Justru sebaliknya, ada banyak sekali kegiatan, kurikulum yang padat, dan ujian yang berulang.
‘’Namun, kenyataannya, esensi pembelajaran yang sesungguhnya yaitu pemahaman mendalam, pengembangan keterampilan, dan penerapan pengetahuan seringkali malah terabaikan,’’ kata Abduh dalam keterangannya pada Rabu (18/6/2025).
Menurut Bank Dunia (2022), sekitar 60% anak-anak di negara berkembang tidak mencapai tingkat profisiensi dalam membaca, menulis, dan matematika, meskipun faktanya mereka bersekolah. Laporan ini juga menyoroti kenyataan bahwa meskipun banyak negara telah meningkatkan lama waktu belajar dan akses ke pendidikan formal, sebagian besar siswa belum mencapai tingkat kompetensi dasar yang diharapkan.
Apa Itu Schooling Without Learning?
Abduh menjelaskan bahwa schooling without learning adalah sebuah kondisi ketika fokus pendidikan bergeser dari proses pembelajaran yang mendalam disertai pemahaman konsep menjadi sekadar penyelesaian kurikulum dan pencapaian target nilai.
‘’Pada kondisi ini, murid mungkin mampu menghafal fakta, rumus, atau definisi. Namun, mereka tidak benar-benar memahami makna di balik pembelajaran tersebut. Apalagi menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran menjadi dangkal karena siswa hanya mengingat informasi tanpa disertai pemahaman yang memadai,’’ ucapnya.
Lebih dari itu, tekanan untuk penyelesaian kurikulum dan pencapaian nilai sering kali mengalahkan tujuan pembelajaran yang sesungguhnya sehingga proses belajar menjadi sangat terfokus pada hasil evaluasi semata.
Materi pelajaran pun terasa kurang relevan karena tidak terhubung dengan konteks kehidupan murid, yang membuat mereka sulit melihat manfaat praktis dari pembelajaran yang diperoleh.
Di samping itu, keterampilan penting abad ke-21 seperti kreativitas, berpikir kritis, kemampuan berkolaborasi, dan komunikasi sering kali kurang mendapat perhatian yang seharusnya. Alhasil, motivasi belajar siswa menurun, menimbulkan kebosanan, dan kurang termotivasi untuk mengikuti proses pembelajaran secara aktif.
Schooling Without Learning di Indonesia
Abduh memaparkan, sebagaimana publikasi “Indonesia Got Schooled: 15 Years of Rising Enrolment and Flat Learning Profiles”, RISE-SMERU (2018), dilaporkan bahwa meski akses ke sekolah meningkat, capaian belajar dalam literasi dan numerasi masih rendah dan stagnan. ‘’Indikator lain menunjukkan bahwa sebagian murid lulusan SMA pun sering kesulitan menjawab soal-soal matematika dasar seperti yang seharusnya dikuasai murid di jenjang SD,’’ ucapnya,
Fakta lain disajikan oleh Bima dkk (2021) dalam “Schooling Progress, Learning Reversal: Indonesia’s Learning Profiles between 2000 and 2014”, bahwa meskipun angka partisipasi sekolah meningkat tajam, kemampuan dasar siswa, terutama matematika, tidak banyak berkembang. Mereka juga menyimpulkan fakta bahwa sebagian siswa kelas 7 di tahun 2014 memiliki kemampuan yang setara dengan siswa kelas 4 di tahun 2000.
Mengapa Schooling Without Learning Terjadi?
Abduh mengungkapkan bahwa fenomena schooling without learning dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu penyebab utama adalah kurikulum yang padat dan hanya berorientasi pada konten. Sering kali kurikulum dirancang untuk mencakup terlalu banyak materi.
‘’Guru terpaksa mengejar target tanpa memiliki waktu yang cukup untuk mendalami setiap topik secara menyeluruh. Selain itu, metode pengajaran tradisional masih dominan digunakan, terutama pendekatan ceramah satu arah, menyebabkan partisipasi aktif siswa menjadi berkurang dan pembelajaran menjadi kurang efektif,’’ paparnya.
Sistem evaluasi yang keliru juga turut berkontribusi. Penilaian yang dilakukan terlalu fokus pada hasil akhir berupa nilai. Ini membuat siswa cenderung mencari jawaban yang benar tanpa berusaha memahami konsep secara mendalam.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah kesenjangan kapasitas guru, tidak semua guru memiliki kompetensi dan dukungan yang memadai untuk menerapkan metode pembelajaran yang inovatif dan sesuai dengan kebutuhan murid saat ini.
Keterbatasan sumber daya, kurangnya buku teks, teknologi, dan fasilitas pendukung lainnya, juga menghambat penciptaan iklim belajar yang efektif. Pun, tekanan dari lingkungan sosial dan orang tua yang menuntut nilai tinggi berikut kelulusannya sering kali membuat sekolah dan siswa terjebak dalam situasi yang tidak sehat, sehingga mengabaikan esensi pembelajaran yang sesungguhnya.
Dampak Buruk Schooling Without Learning
Abduh menjelaskan dampak schooling without learning sangat merugikan, tidak hanya bagi murid, tetapi juga bagi masyarakat dan masa depan bangsa secara keseluruhan. Salah satu akibat yang paling nyata adalah munculnya generasi instan yang kurang siap menghadapi dunia nyata.
‘’Lulusan sekolah mungkin memiliki ijazah, tetapi tidak dibekali dengan keterampilan yang memadai untuk bekerja maupun menghadapi tantangan global yang semakin kompleks. Rendahnya kemampuan berpikir kritis dan kreativitas yang tidak diasah dengan baik akan menghambat proses inovasi dan kemajuan di berbagai bidang,’’ ucapnya.
Kondisi ini juga menimbulkan rasa frustrasi dan demotivasi, baik pada siswa maupun guru, karena mereka harus menjalani sistem pendidikan yang tidak efektif dan kurang memberikan hasil yang bermakna.
Selain itu, investasi besar dalam pendidikan menjadi kurang optimal dan bahkan terbuang sia-sia apabila proses pembelajaran tidak menghasilkan pemahaman dan keterampilan yang sesungguhnya, sehingga memperlemah manfaat pendidikan bagi pembangunan bangsa.
Menyikapi Schooling Without Learning
Menyelesaikan schooling without learning tentu memerlukan pendekatan yang holistik dan kolaboratif dari berbagai pihak terkait. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menyikapinya dengan mengembangkan pendekatan Pembelajaran Mendalam (PM) atau Deep Learning.
PM bertujuan untuk mendorong pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi, penerapan pengetahuan dalam konteks dunia nyata, serta pembelajaran yang berkesadaran (mindful), bermakna (meaningful), dan menggembirakan (joyful).
Melalui pembelajaran berkesadaran, murid diajak untuk hadir secara penuh dalam setiap aktivitas belajar. Pendekatan ini menegaskan pentingnya sinkronisasi antara pikiran, perasaan, dan tindakan, sebagaimana diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara melalui sistem among yang berbasis nilai asah, asih, dan asuh.
Sementara itu, pembelajaran bermakna terjadi ketika materi ajar dapat dihubungkan dengan pengalaman nyata murid. Ini membantu murid memahami konteks dan relevansi dari apa yang mereka pelajari. Dalam pembelajaran bermakna, murid didorong untuk terlibat secara aktif dalam proses belajar, baik melalui diskusi, proyek kolaboratif, atau eksplorasi mandiri. Keterlibatan ini membuat pembelajaran lebih menarik dan efektif.
Pembelajaran meaningful dapat meningkatkan pengalaman pendidikan secara keseluruhan dan membantu siswa menjadi pembelajar sepanjang hayat. Sedangkan ciri khas dari pembelajaran menyenangkan adalah kombinasi antara motivasi intrinsik (keinginan untuk belajar karena rasa ingin tahu dan kepuasan pribadi) dengan pengalaman yang menyenangkan.
Hal ini dapat menciptakan suasana yang mendorong siswa untuk lebih terlibat, kreatif, dan antusias dalam proses pembelajaran.
Dalam tataran implementasinya, diharapkan PM menjadi fondasi pendidikan yang kuat bagi bangsa Indonesia dalam rangka menciptakan ekosistem pendidikan yang kondusif dan berdaya saing global.
Karena itu, penerapan PM pada setiap jenjang pendidikan perlu didukung oleh ekosistem pembelajaran yang kondusif, kemitraan pembelajaran yang luas dan bermakna, dan pemanfaatan teknologi digital yang efektif agar terwujud belajar penuh kesadaran dan perhatian, bermakna dan relevan, serta belajar dengan gembira, antusias dan semangat. Ekosistem pembelajaran seperti ini diyakini akan menciptakan pembelajaran yang sesungguhnya betul-betul terjadi di dalam kelas dan sekolah.
TEKNOLOGI | 2 hari yang lalu
EKBIS | 1 hari yang lalu
HUKUM | 2 hari yang lalu
TEKNOLOGI | 2 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 1 hari yang lalu
HUKUM | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
HUKUM | 1 hari yang lalu
HUKUM | 2 hari yang lalu
PERISTIWA | 1 hari yang lalu