Viral Tayangan TV Lecehkan Kiai, Legislator Ajak Media Tak Buat Stigma Negatif Pesantren

Oleh: Ahda Bayhaqi
Kamis, 16 Oktober 2025 | 12:30 WIB
Legislator ajak media tak sebarkan stigma negatif tentang pesantren, menyusul tayangan di Trans7 yang menghina kiai dan pesantren. (Foto/Istimewa)
Legislator ajak media tak sebarkan stigma negatif tentang pesantren, menyusul tayangan di Trans7 yang menghina kiai dan pesantren. (Foto/Istimewa)

BeritaNasional.com - Anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Ratna Juwita Sari mengajak media menjadi mitra untuk membangun kesadaran publik, bukan menyebarkan stigma negatif pesantren. Hal itu menanggapi isu tayangan yang diduga melecehkan pesantren dan kiai dalam program Xpose Uncensored Trans7.

 

Ia pun mengajak media memberikan panggung kepada pesantren untuk memperkenalkan tradisi dan budayanya.

 

"Media seharusnya memberi panggung kepada pesantren untuk memperkenalkan tradisi dan budaya mereka. Tidak semua hal yang ada di pesantren bisa dijelaskan dengan nalar biasa, apalagi oleh mereka yang bukan bagian dari komunitas santri," kata Ratna kepada wartawan, yang dikutip Kamis (16/10/2025).

 

Anggota Komisi VII DPR ini menilai, tayangan tersebut menunjukkan kurangnya pemahaman media terhadap tradisi dan kultur pesantren yang sarat nilai, adab dan kearifan lokal yang menjadi bagian perjalanan pendidikan bangsa.

 

"Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi pusat pembentukan karakter dan moral bangsa. Apa yang ditampilkan dalam tayangan itu tidak hanya menyakitkan para santri, tapi juga menyinggung perasaan umat Islam yang menjunjung tinggi kehormatan para kiai," ujarnya.

 

Ratna pun mengutip pandangan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menyebut pesantren sebagai subkultur, sebuah entitas sosial dengan nilai, kebiasaan, dan cara hidup tersendiri berbeda dengan masyarakat umum.

 

"Kata Gus Dur, pesantren punya ciri khas kepemimpinan kiai, kehidupan bersama, dan keseimbangan antara pendidikan agama dan umum. Inilah yang membentuk karakter keindonesiaan yang santun dan religius," jelas Ratna.

 

Ratna menyampaikan, pesantren telah berperan besar dalam menjaga moral bangsa dan menanamkan nilai toleransi serta kebangsaan. Karena itu, framing negatif terhadap pesantren sama saja dengan mencederai salah satu akar kebudayaan Indonesia.

 

"Media harus belajar sebelum menilai. Pelajari dulu bagaimana budaya santri tumbuh, bagaimana kiai membimbing, bagaimana pesantren membentuk akhlak dan watak anak bangsa. Jangan menilai dengan kacamata yang sempit dan sensasional," pinta Ratna.

 

Ratna juga mengajak insan pers untuk berkolaborasi dengan pesantren, membuka ruang dialog, dan menghadirkan konten edukatif yang menampilkan wajah pesantren yang sesungguhnya, penuh nilai kemanusiaan, cinta ilmu, dan kebangsaan.

 

"Daripada memframing negatif, akan jauh lebih baik jika media membantu memperluas wawasan publik tentang pesantren. Di sanalah kita belajar tentang ketulusan, kemandirian, dan cinta tanah air,” tegasnya.

 

Ratna berharap peristiwa ini menjadi pelajaran bagi semua pihak agar lebih berhati-hati dalam memproduksi tayangan publik, terlebih yang menyangkut institusi keagamaan dan tokoh-tokoh yang dihormati umat.

 

"Pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, tapi benteng moral bangsa. Media harus menjadi jembatan pemahaman, bukan sumber kesalahpahaman," pungkas Ratna.

 

Diketahui, akibat tayangan Xpose Uncensored Trans7 yang dianggap menghina pesantren dan kiai, muncul gelombang demo di depan Gedung Trans7 Jakarta dan sejumlah daerah.sinpo

Editor: Kiswondari
Komentar: