Hari Pangan Sedunia: Momentum Hidupkan Kembali Keragaman Pangan Lokal

BeritaNasional.com - Di balik makanan yang tersaji di meja makan kita setiap hari, tersimpan kisah panjang tentang tanah, air, dan tangan-tangan yang menanam, merawat, hingga mengolahnya. peringatan Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada 16 Oktober 2025 menjadi saat yang tepat untuk menengok kembali hubungan manusia dengan pangan yang begitu mendasar.
Sejak dahulu, sejarah manusia selalu ditulis bersama kisah pangan. Dari sungai-sungai besar yang melahirkan peradaban hingga hutan yang menopang sumber kehidupan, pangan bukan sekadar urusan kenyang, melainkan fondasi kualitas manusia, kekuatan ekonomi, dan identitas bangsa. Cara kita mengelola pangan hari ini akan menentukan arah pembangunan Indonesia di masa depan.
Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas sumber pangan yang luar biasa. Dari Sabang sampai Merauke, setiap daerah memiliki sumber pangan lokal yang lahir dari interaksi panjang antara manusia dan alam, menjadi bagian dari kebudayaan yang diwariskan lintas generasi. Menurut Badan Pangan Nasional (Bapanas), Indonesia memiliki sekitar 945 jenis pangan lokal, yang terdiri atas 77 sumber karbohidrat, 75 sumber protein, 389 jenis buah, 228 sayuran, 26 kacang-kacangan, 110 rempah dan bumbu, serta 40 jenis bahan minuman.
Angka tersebut menunjukkan bahwa setiap daerah di Indonesia sesungguhnya memiliki “lumbung pangannya” sendiri. Di Nusa Tenggara ada sorgum dan jewawut, di Maluku ada sagu, di Kalimantan dan Papua ada beragam umbi-umbian, sementara di Jawa dan Sumatera, aneka padi lokal dan hasil kebun tumbuh subur.
Keragaman ini tidak hanya soal jumlah jenisnya, tetapi juga nilai gizi dan ketahanan. Ubi jalar atau sagu, misalnya, memiliki kalori hampir setara dengan nasi (160-180 kalori), namun keduanya menawarkan serat, vitamin, dan indeks glikemik yang lebih baik bagi tubuh. Kekayaan ini menunjukkan bahwa kemandirian pangan Indonesia sesungguhnya telah tertanam di tanah dan tradisi kita sendiri. Yang dibutuhkan adalah kesadaran untuk menghidupkan kembali pengetahuan lokal itu agar sejalan dengan sistem pangan modern.
Kendati demikian, keragaman itu perlahan terpinggirkan. Pola konsumsi masyarakat makin seragam, dan memunculkan superioritas beras serta komoditas impor seperti gandum. Bapanas mencatat bahwa 97 persen penduduk Indonesia kini bergantung pada beras sebagai sumber karbohidrat utama.
Lebih lanjut, Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat, impor gandum mencapai 9,45 juta ton hanya dalam sembilan bulan pertama tahun 2024, naik hampir 20 persen dibanding tahun sebelumnya. Ketergantungan seperti ini membuat sistem pangan kita rentan terhadap krisis iklim, gejolak global, hingga mengikis keragaman pangan lokal yang menjadi identitas bangsa.
Di tengah situasi itu, pemerintah menggulirkan kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG). Walau bagi sebagian orang MBG dipahami semata sebagai intervensi gizi untuk melawan stunting. Namun jika dicermati lebih jauh, MBG memiliki potensi besar sebagai titik ungkit strategis bagi transformasi sistem pangan kita.
Jika dirancang berbasis potensi dan kearifan setempat, program MBG dapat menjalankan dua peran penting sekaligus. Pertama, menyediakan asupan gizi seimbang bagi anak-anak Indonesia. Kedua, menjadi penggerak ekosistem pangan lokal yang memberdayakan petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil di daerah.
Melalui pelibatan mereka sebagai pemasok utama, MBG dapat menciptakan pasar yang stabil, meningkatkan pendapatan keluarga tani, dan menghidupkan kembali diversifikasi pangan Nusantara. Dalam rantai pasok yang lebih kuat, usaha mikro dan kecil di sektor pangan juga dapat tumbuh, sehingga manfaat ekonomi program ini menyebar lebih luas ke masyarakat.
Bayangkan jika menu MBG dirancang berbasis potensi alam dan kearifan setempat. Anak-anak sekolah mendapatkan ikan segar dari nelayan, umbi-umbian segar dari ladang, dan sayur-mayur dari kebun petani desa setempat. Setiap piring makanan tidak hanya memenuhi kebutuhan gizi, tetapi juga menggerakkan ekonomi lokal, menjaga kelestarian ekosistem, dan menumbuhkan rasa bangga terhadap identitas pangan bangsa.
Urgensi intervensi semacam ini semakin nyata bila kita cermati data terbaru. Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, prevalensi stunting nasional telah turun menjadi 19,8%, dari 21,5% pada 2023. Upaya pencegahan stunting melalui MBG yang mengutamakan pangan lokal merupakan langkah strategis. Selain mendukung perbaikan gizi, MBG juga berkembang menjadi katalis gerakan bersama menuju kedaulatan pangan yang berkelanjutan dan berakar pada kekayaan negeri sendiri.
Kita dapat belajar dari berbagai praktik baik di lapangan. Praktik baik itu salah satunya dari masyarakat adat Boti di Nusa Tenggara Timur. Di tengah kondisi geografis yang menantang, masyarakat Boti mampu menjaga ketahanan pangan dan gizi komunitasnya melalui prinsip sederhana yakni, menanam yang dimakan, makan apa yang ditanam. Filosofi ini menunjukkan bahwa kemandirian pangan sesungguhnya berawal dari kedekatan manusia dengan tanah dan sumber pangannya sendiri.
“Semua tumbuh dari kearifan lokal yang telah teruji di lintas generasi. Setiap jenis pangan itu tidak hanya memberi makan, tetapi juga menyimpan pengetahuan ekologis dan filosofi hidup masyarakat setempat.”
Prinsip serupa bisa menjadi inspirasi bagi pemegang kebijakan. Bahwa pembangunan pangan tidak bisa hanya dilihat dari aspek produksi dan distribusi, tetapi juga dari relasi sosial dan budaya yang melingkupinya. Jika nilai ini diserap ke dalam kebijakan nasional seperti MBG, maka rantai nilai pangan lokal akan semakin kokoh dan mampu menopang transformasi sistem pangan Indonesia.
Cita-cita dan Kerja Bersama
Langkah menuju cita-cita tersebut tidak bisa ditempuh sendiri. Sistem pangan merupakan ekosistem yang kompleks, melibatkan banyak pihak mulai dari petani sebagai produsen, pemerintah sebagai regulator, pelaku usaha sebagai distributor, akademisi sebagai komponen penguat kebijakan dan litbang, dan masyarakat sebagai konsumen.
Karena itu, diperlukan ruang dialog lintas sektor yang memungkinkan semua pihak saling mendengar, memahami tantangan, belajar dari praktik baik, dan menyusun arah bersama. Dari proses ini akan tumbuh kesadaran kolektif dan pandangan bersama mengenai masa depan sistem pangan Indonesia yang sehat, inklusif, berkelanjutan, serta berakar pada potensi lokal.
Hari Pangan Sedunia menjadi momentum yang tepat untuk menghidupkan kembali kesadaran itu. Kedaulatan pangan bukan semata urusan ketersediaan beras di gudang, tetapi juga menyangkut keberagaman sumber pangan, kualitas gizi, dan keadilan akses bagi seluruh rakyat. Masa depan bangsa akan sangat ditentukan oleh cara kita memperlakukan petani, nelayan, dan komunitas adat hari ini.
Ke depan, arah yang perlu ditempuh semakin jelas, menjadikan pangan lokal sebagai pilar utama pembangunan pangan nasional. MBG dapat menjadi penggerak utama, dengan pelaksanaan yang inklusif, berakar pada kekuatan daerah, dan melibatkan komunitas secara aktif. Dunia usaha perlu memandang diversifikasi pangan lokal sebagai peluang untuk inovasi dan keberlanjutan.
Selanjutnya, akademisi dan peneliti dapat berkontribusi melalui riset dan pengembangan inovasi pangan berbasis kearifan lokal. Sementara masyarakat sebagai konsumen perlu menumbuhkan kesadaran bahwa memilih pangan lokal bukan hanya soal selera, tetapi juga wujud keberpihakan dan dukungan terhadap kedaulatan pangan kita.
Hari Pangan Sedunia juga seharusnya menjadi pengingat bahwa Indonesia memiliki semua modal untuk mencapai kedaulatan pangan. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk memulai, konsistensi menjaga keragaman, dan komitmen kolektif untuk membangun sistem pangan yang adil, sehat, dan berkelanjutan.
Mari kita bayangkan Indonesia di mana anak-anak tumbuh sehat dengan pangan lokal bergizi, petani dan nelayan hidup sejahtera karena hasil kerjanya dihargai, dan komunitas adat tetap lestari dengan kearifan yang mereka jaga. Mari wujudkan cita-cita itu melalui langkah nyata, karena masa depan bangsa ini sangat ditentukan oleh cara kita mengelola pangan hari ini.
Selamat Hari Pangan Sedunia!
Salam,
Bang Haji Irwan
(Ketua Umum PP IKA SKMA, Doktor Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman)
GAYA HIDUP | 1 hari yang lalu
EKBIS | 2 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 2 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 2 hari yang lalu
EKBIS | 5 jam yang lalu
PERISTIWA | 1 hari yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
EKBIS | 1 hari yang lalu
EKBIS | 1 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 2 hari yang lalu