MUI Bakal Bahas Pajak di Munas ke-11, Ini Penyebabnya

Oleh: Kiswondari
Selasa, 04 November 2025 | 19:12 WIB
MUI bakal bahas pajak di Munas ke-11, ini penyebabnya
MUI bakal bahas pajak di Munas ke-11, ini penyebabnya

BeritaNasional.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menyelenggarakan musyawarah nasional (munas) ke-11 pada 20-23 November 2025 mendatang. Salah satu agenda yang dibahas yakni tentang keadilan pajak untuk kesejahteraan masyarakat. Topik ini diangkat MUI karena banyaknya keluh kesah di masyarakat. 

Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Dewan Pimpinan MUI Masduki Baidlowi mengatakan, MUI menyoroti prinsip-prinsip ekonomi konstitusi, yakni taswiyat as-sūq yang dalam konteks ekonomi Islam mengandung makna keadilan pasar. Hal ini terkait dengan isi Pasal 33 Undang-Undang Dasa 1945 yang sering disebut oleh Presiden Prabowo Subianto.

"Keadilan pasar itu diawali dengan persoalan akses informasi yang setara, oleh karena itu, ini menjadi salah satu inti poin penting dari pembicaraan kami dalam diskusi kelompok terpumpun yang berhubungan langsung dengan keadilan pajak, itu terkait dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang selalu dikumandangkan oleh Presiden," kata Masduki dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (4/11/2025). 

Dalam Pasal 33, kata Masduki, disebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan serta perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan.

"Jadi kalau kita membaca tema munas itu meneguhkan peran ulama untuk kemandirian bangsa dan kesejahteraan bangsa," terangnya. 

Dalam kesempatan yang sama, Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Ni'am Sholeh menyampaikan, isu yang kontekstual terkait dengan pajak berkeadilan muncul seiring dengan keluh kesah di tingkat masyarakat yang direspons dengan berbagai aktivitas demonstrasi sebagai wujud protes.

"Ketika daerah berlomba-lomba untuk mengejar pendapatan asli daerah dengan delegasi kewenangan mengenai pajak bumi dan bangunan diawali dengan menaikkan nilai jual objek pajak di wilayah masing-masing, bahkan di beberapa daerah naiknya itu bisa lima kali lipat dari yang semula, karena itu fatwa ini ingin memberikan perspektif keagamaan," ujarnya.

Dalam perspektif keagamaan, kata dia, pajak seharusnya diterapkan untuk kepentingan kemaslahatan umat, tidak berdampak kepada kezaliman salah satu kelompok tertentu.

"Dari hasil diskusi misalnya pajak bumi dan bangunan itu khususnya pada tanah dan rumah yang dihuni, ini diberlakukan sekali saja, tidak berulang setiap tahun karena dia tidak produktif karena dihuni, dan tidak untuk kepentingan produktivitas, berbeda dengan kalau tanah dan bangunan yang memang didedikasikan untuk kepentingan yang bersifat produktif," terang Guru Besar Ilmu Fikih UIN Jakarta itu. 

Sumber: Antarasinpo

Editor: Kiswondari
Komentar: