Wah, Indonesia Pernah Alami Peningkatan Suhu Ekstrem hingga 3 Derajat Celsius

Oleh: Tim Redaksi
Minggu, 27 Oktober 2024 | 02:03 WIB
Ilustrasi peningkatan suhu ekstrem. (Foto/Freepik)
Ilustrasi peningkatan suhu ekstrem. (Foto/Freepik)

BeritaNasional.com - Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Marfasran Hendrizan mengungkapkan, Indonesia pernah mengalami peningkatan suhu hingga 3 derajat celsius di masa lampau.

“Peningkatan suhu sebesar 3 derajat celsius di masa lampau untuk menjadikan suhu ekstrem di wilayah Indonesia membutuhkan waktu yang sangat lama, sekitar lebih kurang 7 ribu tahun. Namun, peningkatan suhu 3 derajat celsius bahkan lebih di masa depan hanya membutuhkan kurang dari seratus tahun,” ungkap Hendrizan, dalam Kolokium PRIMA, Kamis (17/10) lalu.

Hendrizan menjelaskan, riset paleoklimat berfokus pada pengungkapan sejarah perubahan iklim masa lampau, untuk membantu memahami perubahan iklim dan dampaknya di masa kini dan masa depan.

Wilayah Indonesia yang berada di kawasan tropis, termasuk dalam “kolam terpanas” dunia atau dikenal sebagai “Indo-Pacific warm pool”. Wilayah ini memiliki aktivitas konveksi tinggi dengan curah hujan yang besar, namun cakupan datanya masih terbatas.

Menurut Hendrizan, data iklim yang tersedia saat ini belum cukup panjang untuk analisis mendalam, sehingga dibutuhkan tambahan data geologi. “Salah satu cabang ilmu geologi yaitu paleoklimat, ilmu yang mempelajari iklim masa lampau, dapat menyediakan data jangka panjang yang mengisi celah dari data observasi modern,” jelasnya.

Hendrizan menyebut, akurasi proyeksi iklim baik masa lampau maupun masa depan membutuhkan coverage data yang lebih panjang. Sehingga, kualitas proyeksi iklim berdasarkan model menjadi lebih akurat.

“Studi paleoklimat menggunakan proksi untuk memahami perubahan lingkungan dari skala waktu yang berbeda beda,” sebutnya. 

Paleoklimat di masa lampau menunjukkan adanya perbedaan temperatur maupun kenaikan CO2 dan muka laut. Parameter-parameter tersebut digunakan sebagai acuan untuk merekonstruksi paleoklimat di masa lampau.

Dalam paleoklimat, jelas Hendrizan, harus memperhitungkan skala waktu. Artinya, tidak bisa menggabungkan secara acak skala waktu kondisi modern dan masa lampau.

“Beberapa arsip geologi memberikan kelebihan dan kelemahan dalam rekonstruksinya, sehingga dibutuhkan kerja sama antar ahli paleoklimat untuk menjawab permasalahan riset ini,” tutur Hendrizan.

Contohnya, sedimen laut memberikan rentang waktu yang panjang sampai jutaan tahun, tapi memberikan resolusi data dengan kualitas rendah, seperti centennial, millennial, atau orbital.

“Sedangkan koral sebagai contoh lainnya memberikan rentang waktu yang pendek hingga ribuan tahun, tetapi memberikan resolusi tinggi, sehingga diperoleh skala waktu bulanan, musiman, antar tahunan, ataupun dekadal. Untuk mendapatkan rekonstruksi paleoklimat yang komprehensif harus ada komplimen antar arsip geologi,” urai Hendrizan.

Adapun objek penelitian yang digunakan sebagai sampel untuk mendapatkan temperatur adalah foraminifera.

“Foraminifera adalah plankton yang hidup di lautan dan ia memiliki dinding cangkang kalsit. Ketika foraminifera hidup sebagai zooplankton, maka foraminifera tersebut menangkap sinyal-sinyal iklim dari suhu, salinitas, oksigen, pH, dan lain-lain,” sebut Hendrizan.

Sinyal tersebut, sambungnya, akan tersimpan pada cangkang foraminifera dan ikut terbawa sampai foraminifera tersebut mati dan terkubur.

“Semakin lama terkubur semakin lama arsip itu tersimpan. Foraminifera yang terkandung dalam sedimen di lautan inilah kemudian dieksplorasi menggunakan kapal riset untuk mendapatkannya,” terang peneliti yang tergabung dalam Kelompok Riset Iklim dan Lingkungan Masa Lampau ini.

Rasio unsur magnesium dan kalsium yang terdapat di cangkang foraminifera terbukti memiliki korelasi positif antara temperatur dengan magnesium kalsium. Semakin tinggi magnesium kalsium maka semakin tinggi nilai isotopik dari temperatur yang ada. 

Dari penelitian rasio magnesium dan kalsium, ditemukan bahwa Indonesia pernah mengalami peningkatan suhu hingga 3 derajat celsius di masa lampau. Data ini membuktikan bahwa pemanasan ekstrem di masa lampau dapat menjadi acuan untuk memahami kondisi iklim dan oseanografi saat pemanasan tersebut terjadi.

Hendrizan menuturkan, seharusnya, pengetahuan tersebut dapat dijadikan bahan kesiapsiagaan apabila skenario pengurangan emisi global tidak terkendali di masa depan. Karena batas aman 1,5 derajat celsius dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC pernah terlewati di wilayah Indonesia.

Mengingat pentingnya sedimen untuk pengetahuan perubahan iklim di masa depan, dirinya berpesan bahwa sedimen yang menjadi polemik di tengah masyarakat beberapa waktu lalu seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah.

“Perlu kajian distribusi sedimen secara saintifik yang lebih mendalam sebelum sedimen tersebut dipindah ke tempat lain,” pungkasnya. sinpo

Editor: Tarmizi Hamdi
Komentar: