Saat Berbuat Baik Dianggap Kewajiban, Harus Bagaimana?

Oleh: Tim Redaksi
Kamis, 28 November 2024 | 02:00 WIB
Ilustrasi berbuat baik (Foto/Food navigator)
Ilustrasi berbuat baik (Foto/Food navigator)

BeritaNasional.com - Dalam kehidupan sosial, melakukan kebaikan sering dianggap sebagai sesuatu yang mulia. Namun, dalam dinamika psikologis, ada fenomena menarik ketika seseorang yang terus-menerus menerima kebaikan, bahkan mulai menganggapnya sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan seseorang kepadanya. 

Fenomena ini dikenal sebagai entitlement mentality atau mentalitas hak. Seiring waktu, penerima kebaikan yang terus-menerus mungkin mengembangkan entitlement mentality, yaitu keyakinan bahwa mereka “berhak” atas bantuan tersebut. 

Dalam konteks ini, kebaikan yang diberikan berubah menjadi tuntutan, bukan lagi sesuatu yang dihargai.

Mengapa Berbuat Baik Bisa Dianggap Kewajiban?

Psikolog menjelaskan, manusia cenderung terbiasa dengan pola-pola tertentu. Ketika seseorang menerima kebaikan secara konsisten, otak mulai memprosesnya sebagai norma atau standar.

Hal ini diperkuat oleh teori hedonic adaptation yang menyatakan bahwa manusia cepat beradaptasi terhadap kondisi yang menyenangkan, sehingga kebaikan yang berulang kali diterima tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang istimewa.

Sebagai contoh, jika seseorang sering diberikan bantuan dalam pekerjaan, penerima kebaikan tersebut mungkin pada akhirnya menganggap bahwa membantu adalah tugas rutin pemberi bantuan, bukan lagi wujud kebaikan. Lama kelamaan, penghargaan atas tindakan tersebut menghilang, dan muncul ekspektasi bahwa kebaikan akan terus diberikan.

Faktor Penyebab

1. Kurangnya Komunikasi
Terkadang, pemberi kebaikan tidak menjelaskan batasan atau harapan mereka. Hal ini membuat penerima tidak memahami bahwa kebaikan itu bukan kewajiban.

2. Pola Asuh dan Lingkungan
Seseorang yang tumbuh dalam lingkungan di mana kebutuhan mereka selalu dipenuhi tanpa syarat cenderung mengembangkan rasa hak yang berlebihan.

3. Kurangnya Rasa Syukur
Jika penerima tidak dilatih untuk mengapresiasi hal-hal kecil, mereka cenderung mengabaikan pentingnya kebaikan yang diberikan.

4. Kurangnya Empati
Orang yang kurang memiliki kemampuan untuk memahami sudut pandang orang lain cenderung lebih cepat menganggap kebaikan sebagai kewajiban. Mereka gagal menyadari usaha atau pengorbanan yang dilakukan pemberi kebaikan.

Dampak Psikologis

1. Bagi Pemberi Kebaikan
Pemberi kebaikan yang merasa tindakannya dianggap remeh atau diwajibkan dapat mengalami kelelahan emosional (compassion fatigue) dan kehilangan motivasi untuk terus berbuat baik. Hal ini sering memicu konflik dalam hubungan sosial.

2. Bagi Penerima Kebaikan
Penerima kebaikan yang terlalu bergantung pada bantuan orang lain cenderung mengalami penurunan kemandirian. Lebih jauh, jika ekspektasi mereka tidak terpenuhi, mereka bisa merasa kecewa atau marah, meskipun sebenarnya tidak berhak menuntut.

Bagaimana Mengatasi Fenomena Ini?

1. Menetapkan Batasan
Pemberi kebaikan perlu menetapkan batasan yang jelas dan tidak ragu untuk mengatakan “tidak” jika merasa dimanfaatkan, sehingga penerima memahami bahwa kebaikan adalah bentuk kemurahan hati, bukan kewajiban.

2. Membangun Kesadaran
Baik pemberi maupun penerima perlu mengembangkan empati dan apresiasi. Penghargaan kecil seperti ucapan terima kasih dapat membantu menjaga hubungan sosial tetap sehat.
 
3. Melatih Rasa Syukur
Penerima kebaikan perlu diajarkan untuk lebih bersyukur. Hal ini dapat dilakukan melalui refleksi pribadi atau dengan mengingatkan mereka tentang usaha di balik setiap kebaikan.

Fenomena menganggap kebaikan sebagai kewajiban adalah refleksi dari kompleksitas hubungan sosial manusia. Dengan pemahaman psikologis dan komunikasi yang baik, masalah ini dapat diatasi sehingga hubungan antarindividu tetap sehat dan saling menghargai.


Fadia Rahma B/Magangsinpo

Editor: Dyah Ratna Meta Novia
Komentar: