Polarisasi Jadi Alasan MK Hapus Presidential Threshold 20%
BeritaNasional.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas presiden (presidential threshold) 20%. Ada beberapa pertimbangan Mahkamah memutuskan menghapus ambang batas presiden tersebut.
Pertama, saat ambang batas presiden 20% dipertahankan ada pergerakan politik yang kecenderungannya mengupayakan hanya dua kandidat pasangan calon presiden. Pengalaman Pilpres sebelumnya, akibat dua pasangan calon yang maju, masyarakat mudah terjebak polarisasi.
"Setelah memelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon," ujar Hakim MK Saldi Isra saat membacakan putusan di Gedung MK Jakarta, Kamis (2/1/2024).
"Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung menunjukan, dengan hanya 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia," jelasnya.
Mahkamah memandang jika aturan tersebut dibiarkan tidak menutup kemungkinan Pilpres akan terjebak pada calon tunggal. Mahkamah melihat kecenderungan tersebut pada penyelenggaraan Pilkada 2024 banyaknya calon kepala daerah tunggal.
"Artinya, membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017 berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden," paparnya.
Lebih lanjut Mahkamah melihat dalam beberapa kali Pilpres diselenggarakan terjadi dominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden. Akibatnya timbul keterbatasan hak konstitutional pemilih mendapatkan alternatif pasangan calon presiden. Maka itu, kali ini MK membuat keputusan berbeda dan menghapus ambang batas 20%.
Kemudian, Mahkamah menilai ambang batas presiden 20% tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang bertentangan dengan UUD 1945.
"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945"
Selain itu, MK menilai dalam sistem presidensial dengan balutan model kepartaian majemuk harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dengan jumlah partai politik peserta pemilu. Namun, pembentuk undang-undang bisa mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang terlalu banyak.
"Dalam revisi UU 7/2017, pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat," tukasnya.
6 bulan yang lalu
OLAHRAGA | 17 jam yang lalu
PERISTIWA | 1 hari yang lalu
PERISTIWA | 1 hari yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
POLITIK | 2 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 18 jam yang lalu
OLAHRAGA | 15 jam yang lalu
PERISTIWA | 19 jam yang lalu
POLITIK | 2 hari yang lalu