Sastra Punya Peran Penting dalam Sejarah dan Budaya Indonesia

Oleh: Tarmizi Hamdi
Minggu, 23 Februari 2025 | 03:00 WIB
Pengunjung melihat tulisan sastra dalam Pameran Sastra Jakarta 2024 di Galeri PDS HB Jassin. (BeritaNasional/Oke Atmaja)
Pengunjung melihat tulisan sastra dalam Pameran Sastra Jakarta 2024 di Galeri PDS HB Jassin. (BeritaNasional/Oke Atmaja)

BeritaNasional.com - Para peneliti dari berbagai institusi membagikan hasil kajian mereka mengenai peran sastra dalam masyarakat serta kontribusinya terhadap sejarah dan budaya Indonesia.

Penelitian-penelitian ini dipresentasikan dalam konferensi yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra (PR PBS) BRIN bekerja sama dengan Suluh Insan Lestari Internasional.

Konferensi ini merupakan bagian dari rangkaian The 2nd International Conference on Language and Literature Preservation (ICLLP 2025) yang diadakan dalam rangka memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional. Mengusung tema "Bahasa, Sastra, dan Sejarah", kegiatan ini berlangsung di BRIN Gatot Subroto, Jakarta, pada Kamis (20/2/2025).

Salah satu pembicara, Nurweni Saptawuryandari dari PR PBS BRIN, mengungkapkan hasil penelitiannya mengenai perkembangan sastra Indonesia pada era 1950-an. 

Ia menjelaskan bahwa pada periode tersebut, beberapa penghargaan sastra diberikan oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) dan Majalah Bisa. 

Menurut dia, penghargaan ini berperan penting dalam mengapresiasi serta mendorong pertumbuhan sastra Indonesia.

“Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas sastra pada periode itu mengalami penurunan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sastra yang berkembang semakin beragam dalam hal tema, tetapi kurang menunjukkan kedalaman intelektual sebagaimana karya-karya yang lebih awal,” ujarnya yang dikutip dari laman BRIN pada Sabtu (22/2/2025).

Ia juga menyoroti novel Pulang karya Toha Mohtar yang memiliki elemen naratif kuat dan pesan moral mendalam. 

“Selain itu, kumpulan cerita pendek Sebuah Rumah Buat Harian Tua karya Ajip Rosidi juga menarik perhatian para juri. Penelitian ini menyoroti bagaimana penilaian terhadap karya sastra tidak hanya berdasarkan aspek estetika, tetapi juga pada dampaknya terhadap pembaca dan nilai-nilai moral yang disampaikan,” tambahnya.

Feby Nur Dianingtyas dari PT Balai Pustaka turut memaparkan kajiannya mengenai majalah Kadjawen, sebuah publikasi berbahasa Jawa yang diterbitkan Balai Pustaka sejak 1926. 

Ia menjelaskan bahwa majalah ini tidak hanya menyajikan berita dan tips kehidupan, tetapi juga menyisipkan karya sastra berbahasa Jawa yang mencerminkan nilai-nilai budaya setempat.

Dalam penelitiannya, Feby menemukan bahwa penerbitan Kadjawen berkaitan erat dengan politik etis yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. 

“Pada awal penerbitannya, Kadjawen menggunakan aksara Jawa, tetapi pada 1940-an beberapa rubrik mulai beralih ke aksara Latin. Perubahan ini diduga terjadi karena meningkatnya jumlah kaum priyayi baru yang memperoleh pendidikan ala Barat,” jelasnya.

Penelitiannya menunjukkan bahwa Kadjawen memiliki peran penting dalam membentuk diskursus masyarakat Jawa, terutama dalam menyampaikan kritik sosial secara halus melalui sastra. 

“Majalah ini tidak banyak memuat sentimen negatif terhadap pemerintah kolonial, yang menunjukkan adanya kendali atas isi majalah oleh pihak penguasa,” terangnya.

Dalam sesi lain, Dea Letriana mempresentasikan penelitian mengenai rekonstruksi kota Jakarta melalui sastra Melayu Tionghoa dengan pendekatan kartografi. Riset ini dilakukan bersama Erlis Nur Mujiningsih, Anto, dan Erli Yetti dari PR PBS BRIN.

“Penelitian ini bertujuan untuk memahami kebijakan kolonial yang memengaruhi distribusi spasial dan interaksi sosial di Jakarta melalui karya sastra,” paparnya.

Mereka meneliti novel Nonton Capgome karya Kwee Tek Hoay, yang menggambarkan lokasi-lokasi penting bagi komunitas Tionghoa di Batavia, seperti Jalan Pancoran, Toko Tiga, Patekoan, dan Kongsi Besar.

“Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jakarta pada masa itu memiliki wilayah-wilayah khas yang menjadi pusat aktivitas komunitas Tionghoa, terutama di sekitar Jalan Pancoran dan sekitarnya. Jalur-jalur yang dilalui tokoh dalam Nonton Capgome menggambarkan pola mobilitas masyarakat Tionghoa, dengan beberapa lokasi penting seperti Restoran Hongkong, schouwburg Thalia, dan Restoran Nyonya Gemuk yang menjadi landmark,” bebernya.

Cerita ini mencerminkan dinamika sosial dalam komunitas tersebut, sementara elemen kartografi membantu merekonstruksi lanskap kota Batavia pada masa kolonial. “Penelitian ini memberikan wawasan tentang bagaimana sastra dapat digunakan sebagai sumber untuk memahami sejarah dan struktur sosial perkotaan di masa lalu,” pungkasnya.

Dari berbagai penelitian yang disampaikan dalam konferensi ini, menegaskan bahwa sastra bukan sekadar produk budaya, tetapi juga alat politik dan sosial yang berperan dalam membentuk opini publik serta memperkuat identitas budaya. 

Meskipun dalam beberapa periode terjadi penurunan kualitas sastra, keberadaannya tetap menjadi bagian penting dalam perkembangan sejarah dan masyarakat Indonesia.sinpo

Editor: Tarmizi Hamdi
Komentar: