Kepala BPS Sebut Angka Kemiskinan Versi Bank Dunia Harus Dimaknai secara Bijak

Oleh: Tim Redaksi
Rabu, 30 April 2025 | 21:40 WIB
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti saat memberikan keterangan di Istana Negara, Jakarta. (Foto/BPMI Setpres)
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti saat memberikan keterangan di Istana Negara, Jakarta. (Foto/BPMI Setpres)

BeritaNasional.com - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengimbau masyarakat dan seluruh pihak untuk memahami secara cermat angka kemiskinan Indonesia yang dirilis Bank Dunia baru-baru ini.

Dalam keterangannya di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Rabu (30/4/2025), Amalia menegaskan angka 60,3 persen yang disebut Bank Dunia tidak bisa disamakan begitu saja dengan perhitungan nasional Indonesia karena menggunakan standar dan metodologi berbeda.

“Kita perlu bijak dalam memaknai angka yang disampaikan oleh Bank Dunia mengenai kemiskinan yang 60,3 persen itu,” ujar Amalia dalam keterangannya kepada media pada Rabu (30/4/2025).

Ia menjelaskan angka tersebut didasarkan pada standar upper middle class Bank Dunia, yaitu 6,85 USD per kapita per hari dalam Purchasing Power Parity (PPP) dengan tahun dasar 2017. 

Karena itu, nilai tukarnya tidak bisa langsung dikonversi ke kurs saat ini.

“Artinya, kita tidak bisa langsung mengonversi dengan nilai tukar saat ini karena itu adalah nilai tukar PPP dengan base year 2017, makanya angka konversinya akan berbeda,” jelasnya.

Amalia juga menekankan bahwa Bank Dunia sendiri tidak mewajibkan penerapan garis kemiskinan global oleh seluruh negara.

Sebaliknya, setiap negara dianjurkan untuk menetapkan garis kemiskinan nasional yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi setempat.

“Global poverty line yang ditetapkan oleh Bank Dunia itu tidak sekonyong-konyong harus diterapkan oleh masing-masing negara karena secara bijak tentunya masing-masing negara itu harus bisa memiliki national poverty line yang diukur sesuai dengan keunikan maupun karakteristik dari negara tersebut,” tuturnya.

Di Indonesia, Amalia menjelaskan penghitungan angka kemiskinan dilakukan berdasarkan garis kemiskinan di setiap provinsi yang mencerminkan perbedaan standar hidup antardaerah. Data dari seluruh provinsi kemudian diakumulasi menjadi angka kemiskinan nasional.

“Standar hidup di Provinsi DKI tidak akan sama dengan standar hidup misalnya di Provinsi Papua Selatan. Dan Provinsi DKI maupun Provinsi Papua Selatan memiliki garis kemiskinan yang berbeda-beda,” kata Amalia.

Ia menegaskan kembali bahwa angka kemiskinan dari Bank Dunia sebaiknya dijadikan referensi semata, bukan acuan utama dalam penentuan kebijakan nasional.

“Dengan demikian, mari kita lebih bijak untuk memaknai dan memahami angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia karena itu bukanlah suatu keharusan kita menerapkan, tetapi memang itu hanya sebagai referensi saja,” tandasnya.

 sinpo

Editor: Tarmizi Hamdi
Komentar: