MK Tolak Permohonan Jadikan DKPP Jadi Lembaga Mandiri

Oleh: Sri Utami Setia Ningrum
Kamis, 05 Juni 2025 | 18:30 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (BeritaNasional/Oke Atmaja)
Gedung Mahkamah Konstitusi (BeritaNasional/Oke Atmaja)

BeritaNasional.com -  Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materiel Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. 

Permohonan uji materi tersebut meminta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dijadikan lembaga mandiri seperti penyelenggara pemilu lainnya, yakni KPU dan Bawaslu.

Putusan penolakan tersebut termaktub dalam amar Putusan Nomor 34/PUU-XXIII/2025. 

“Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di ruang didang Pleno MK Jakarta, Kamis (5/6/2025).

Pemohon berjumlah empat orang yang merupakan mantan komisioner DKPP Muhammad, Nur Hidayat Sardini, Ferry Fathurokhman, dan Firdaus.

Mereka memohon agar DKPP dipisahkan dari Kementerian Dalam Negeri dan nomenklaturnya diubah dari sekretariat menjadi sekretariat jenderal serta sekretaris menjadi sekretaris jenderal. 

Para pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 162 dan Pasal 163 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Pemilu karena dinilai menimbulkan ketidakmandirian dan ketergantungan DKPP terhadap pemerintah, khususnya terkait prosedur pengangkatan sekretaris DKPP melalui Kemendagri, pengelolaan anggaran, dan status administratif di bawah Kemendagri.

Dalam pertimbangan hukum yang diucapkan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, DKPP berada dalam satu napas penyebutan dengan KPU dan Bawaslu, seperti yang diatur pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 7 UU Pemilu. Namun, pengaturan satu napas penyebutan itu tidak secara otomatis menjadikan semua lembaga penyelenggara pemilu didesain secara seragam.

Dalam konteks DKPP, sekretariat merupakan unit organisasi untuk mendukung atau membantu pelaksanaan tugas DKPP.

Menurut mahkamah, UU Pemilu sejatinya telah mengatur unit pendukung berupa sekretariat DKPP yang disesuaikan dengan susunan dan kedudukan DKPP sebagai salah satu penyelenggara pemilu.

Lebih lanjut Ridwan mengatakan keinginan para pemohon agar sekretariat DKPP ditafsirkan menjadi sekretariat jenderal DKPP sama halnya dengan memaksa mahkamah menganalisis tentang ruang lingkup kewenangan kelembagaan dan jabatan-jabatan yang melekat. Padahal, hal itu bukan kewenangan MK.

“Dengan kata lain, menegaskan bahwa ‘sekretariat DKPP’ ditingkatkan menjadi ‘sekretariat jenderal DKPP’ bukan menjadi kewenangan Mahkamah,” ucapnya. 

Ia pun menegaskan hingga saat putusan ini diucapkan, berkenaan dengan pengubahan sekretariat menjadi sekretariat jenderal atau sekrertaris menjadi sekretaris jenderal, mahkamah belum memiliki alasan untuk bergeser dari pertimbangan hukum dalam perkara serupa, yakni Putusan Nomor 54/PUU-XVIII/2020.

Namun mahkamah menegaskan1 dalam perubahan UU Pemilu nantinya, pembentuk undang-undang harus mengatur ulang DKPP dan unit organisasi pendukung agar tidak seolah-olah berada dalam cabang kekuasaan lain yang berpotensi menggerus independensi DKPP sebagai salah satu penyelenggara pemilu.

“Sebagai contoh, dalam pengisian sekretaris DKPP, proses seleksi calon sekretaris atau sebutan lain menjadi kewenangan DKPP dan secara administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Presiden atau menteri dalam negeri menetapkan sekretaris DKPP di antara nama-nama yang diajukan atau diusulkan oleh DKPP,” ucap Ridwan. (Antara)sinpo

Editor: Sri Utami Setia Ningrum
Komentar: