Kisah Inspiratif Diogo Jota: Dari Klub Kecil ke Panggung Liga Champions

BeritaNasional.com - Diogo Jota sangat mencintai sepak bola, Itu selalu terlihat jelas setiap kali ia bermain. Tapi Jota bukan hanya sekadar pemain bola. Ia adalah seorang ayah, seorang anak, dan secara tragis, baru saja menjadi suami beberapa hari sebelum kepergiannya di Zamora, pada usia 28 tahun. Kesedihan ini terasa begitu dalam.
Perjalanan Jota menuju puncak bersama Liverpool dan tim nasional Portugal berbeda dari kebanyakan pemain seangkatannya. Tidak seperti banyak pesepakbola muda berbakat Portugal lainnya, ia tidak berasal dari akademi ternama seperti Benfica, Sporting, atau Porto.
Lebih dari itu, Jota masih membayar untuk bermain di klub lokal Gondomar saat berusia 16 tahun. Atau lebih tepatnya, orang tuanya yang membayar.
Saat diwawancarai tiga tahun lalu, Jota menegaskan, "Bukan saya yang bayar, tapi orang tua saya," ceritanya, menunjukkan rasa hormat dan syukurnya, seperti dikutip dari Sky Sport, Jumat (4/7/2025)
"Di Portugal, keadaannya berbeda dengan di Inggris," katanya dalam obrolan pada tahun 2022.
"Saya bermain di klub kecil, dan kami harus membayar bulanan untuk bisa bermain. Baru saat pindah ke Paços de Ferreira pada 2013, saya mulai mendapatkan bayaran," paparnya lebih dalam.
Vasco Seabra, pelatihnya di Paços, mengisahkan betapa besar perjalanan yang telah ditempuh Jota, dari pinggiran dunia sepak bola Portugal hingga tampil di final Liga Champions. Ia bahkan pernah menulis surat ke federasi sepak bola Portugal agar tim nasional U-19 datang melihat Jota bermain.
“Saya ingat mengirim email ke pelatih timnas U-19 saat itu,” kenangnya.
“Itu karena karakternya. Diogo adalah pribadi yang luar biasa. Saya bahkan belum bicara soal kemampuannya sebagai pemain karena itu sudah jelas. Tapi sebagai manusia, ia luar biasa,” sambung Vasco.
"Biasanya pemain bagus enggan mendengarkan saran teknis. Tapi yang terbaik justru rendah hati dan ingin terus belajar," jeasnya.
Ada momen dimana Vasco pernah bertanya langsung pada Jota, dari mana datangnya semangat dan rasa lapar itu.
“Rasa lapar ini sudah ada sejak saya kecil. Sejak muda, saya tidak pernah bermain di tim besar. Beberapa teman saya masuk Porto atau Benfica. Saya juga pernah seleksi, tapi tidak lolos. Saya ini pemain bagus, tapi bukan yang terbaik,” katanya.
Rendah hati. Punya kesadaran diri. Berkemauan keras.
Percakapan itu terjadi saat ia berada di kantor pusat adidas di Stockport untuk syuting peluncuran sepatu baru. Meski jadwalnya padat, ia menyempatkan waktu untuk berbincang soal kariernya.
Jota hangat, terbuka, dan menyenangkan. Ia juga bercerita tentang kebahagiaannya menghabiskan waktu bersama keluarga.
“Saya juga lagi nunggu FIFA 23 rilis. Saya suka banget game itu.” Ia memang jagonya, sempat menjuarai turnamen antar pemain Premier League saat pandemi.
“Nggak ada lawan,” katanya.
Musim panas berikutnya, ia pindah ke Inggris, bergabung dengan Wolves. Ia langsung bersinar, mencetak 17 gol di musim perdananya dan membawa Wolves juara Championship, tampil begitu dominan bersama Ruben Neves.
Awalnya, banyak yang meragukan para pemain muda Portugal bisa bertahan di kerasnya sepak bola Inggris, apalagi di kota kecil seperti Wolverhampton.
Saat naik ke Premier League, Jota butuh waktu untuk beradaptasi. Tapi pergantian posisi di bulan Desember mengubah segalanya, ia mencetak gol kemenangan lawan Chelsea, lalu hat-trick pertamanya di Inggris saat melawan Leicester dalam laga dramatis 4-3.
Ia juga mencetak gol kemenangan melawan Manchester United, dua kali dalam dua pekan. Menyusul kemudian gol ke gawang Arsenal.
Musim berikutnya, ia mencetak dua hat-trick lagi melawan Besiktas dan Espanyol, saat Wolves tampil di kancah Eropa.
Penampilannya menarik perhatian Liverpool. Harga lebih dari £40 juta saat itu dianggap tinggi untuk pemain cadangan Wolves. Tapi seperti diakui langsung oleh sang chairman Wolves, Jeff Shi, itu adalah penjualan yang paling ia sesali. Liverpool tahu apa yang mereka lihat.
Ian Graham, mantan direktur riset Liverpool, pernah menjelaskan alasannya. “Kami berdiskusi cukup panjang dengan tim analisis video. Ia memang tidak bermain dalam formasi kami, tapi cara dia menafsirkan perannya sangat cocok dengan gaya Liverpool,” katanya.
Dalam lima musim bersama Liverpool, Jota memenangkan semua gelar domestik Inggris. Ia mencetak 65 gol dari 182 pertandingan. Cedera dan masa-masa sulit sempat datang, tapi ia selalu muncul di momen penting saat Liverpool membutuhkannya.
Jamie Carragher bahkan pernah menyebut Jota sebagai finisher terbaik di klub. Dirinya teringat salah satu momen Liverpool tertinggal 0-1 dari Nottingham Forest, "lalu Jota masuk dari bangku cadangan dan menyamakan skor hanya 22 detik setelah masuk lapangan. Di bulan April, ia mencetak gol kemenangan atas Everton di Derby Merseyside," kisahnya.
Sulit membayangkan bahwa itu adalah dua gol terakhirnya. Masih banyak hal yang bisa ia capai bukan hanya di lapangan, tapi terutama di luar lapangan.
HUKUM | 1 hari yang lalu
HUKUM | 1 hari yang lalu
PERISTIWA | 1 hari yang lalu
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
HUKUM | 1 hari yang lalu
PERISTIWA | 1 hari yang lalu
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
PERISTIWA | 11 jam yang lalu
OLAHRAGA | 14 jam yang lalu