Kekuatan Rupiah Dipertanyakan, Zico Ajukan Permohonan ke MK

Oleh: Sri Utami Setia Ningrum
Jumat, 18 Juli 2025 | 13:30 WIB
Ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). (BeritaNasional/Oke Atmaja).
Ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). (BeritaNasional/Oke Atmaja).

BeritaNasional.com -  Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengucapan
Putusan/Ketetapan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang terhadap Undang Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).

Sidang yang dijadwalkan, Kamis (17/07/2025) pukul 13.30 WIB dengan nomor perkara 94/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak
yang berprofesi sebagai advokat.

Dalam keterangan resmi Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (17/7/2025) Zico sebagai pemohon mengajukan peninjauan kembali terhadap aturan tentang mata uang rupiah. 

Ia senantiasa menggunakan rupiah sebagai alat transaksi resmi. Namun dalam praktiknya, pemohon mengalami kesulitan akibat banyaknya angka nol pada pecahan
rupiah, khususnya dalam transaksi digital seperti QRIS.

"Kesalahan pernah terjadi ketika Pemohon
melakukan pembayaran di swalayan menggunakan QR Code, di mana jumlah nominal yang besar
menyebabkan kekeliruan karena angka nol yang terlalu banyak dan seragam," tulis keterangan di laman MK.

Hal ini menimbulkan keresahan karena risiko kesalahan cukup tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahan tersebut juga berdampak pada aspek keamanan dan kepercayaan dalam bertransaksi.

Angka nol yang berulang meningkatkan peluang kesalahan input, terlebih dalam sistem digital yang tidak menyediakan ruang koreksi setelah transaksi selesai.

"Jika ditambah dengan faktor ketidakjujuran petugasatau sistem, maka potensi kerugian semakin besar"

Kondisi ini tidak hanya dialami oleh pemohon, tetapi juga oleh masyarakat luas yang semakin bergantung pada sistem pembayaran non tunai"

Selain di dalam negeri, Zico juga menghadapi kendala ketika berada di luar negeri, seperti di
Singapura. Rupiah dianggap tidak praktis karena nilai nominalnya yang terlalu besar namun memiliki daya beli yang rendah. Banyak tempat penukaran uang menolak rupiah karena rendahnya nilai tukar dan
persepsi bahwa rupiah tidak likuid. Sebagai perbandingan, 1 Dolar Singapura setara dengan lebih dari
12.800 rupiah, dan 1 dolar AS bahkan lebih dari 16.800 rupiah, mencerminkan ketimpangan nominal yang
menghambat penggunaan rupiah di tingkat internasional.

Ketimpangan ini tidak hanya berdampak secara praktis, tetapi juga menyentuh aspek psikologis dan martabat bangsa.

"Pemohon merasa malu ketika menjelaskan kepada orang asing mengenai nilai rupiah
yang besar namun lemah secara daya beli"

Ketika Rupiah tidak bisa digunakan langsung dan harus dikonversi terlebih dahulu, hal itu menjadi simbol lemahnya posisi rupiah secara global.

Hal ini turut menciptakan persepsi negatif terhadap mata uang nasional Indonesia.
Kondisi tersebut menurut pemohon dapat diatasi melalui langkah redenominasi atau pemangkasan angka
nol dalam rupiah.

Pemohon berpendapat redenominasi akan memperkuat efisiensi transaksi,
meningkatkan citra rupiah, dan mengangkat martabat bangsa baik secara ekonomi maupun psikologis.

Sayangnya, belum ada pengaturan yang jelas mengenai hal ini dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang, terutama dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c, sehingga Pemohon
merasa mengalami kerugian konstitusional atas hak untuk mengembangkan diri (Pasal 28C ayat (1) UUD
1945) dan memperoleh keadilan (Pasal 28D ayat (1)).

Pada agenda Pendahuluan (17/6/2025) lalu, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa Pemohon perlu membaca
secara menyeluruh isi UU 7 Tahun 2011

MK memertanyakan apakah perubahan yang dimohonkan tidak akan menimbulkan konsekuensi hukum baru jika diterapkan, serta menyoroti kurangnya penjelasan
mengenai kerugian hak konstitusional Pemohon yang nyata.

Namun demikian, pemohon tetap meyakini
bahwa ketiadaan dasar hukum untuk redenominasi telah menyebabkan kerugian langsung maupun
potensial, baik secara pribadi maupun bagi bangsa Indonesia secara umum.

Pada sidang sebelumnya, agenda sidang pemohon menyebutkan pihaknya
tidak melakukan perbaikan pada pokok-pokok permohonannya dan tetap pada permohonan awal. sinpo

Editor: Sri Utami Setia Ningrum
Komentar: