Leony Keluhkan BPHTB Warisan, Pengamat Ingatkan Aturan Ada di UU HKPD

BeritaNasional.com - Artis Leony Vitria membagikan pengalamannya mengurus balik nama rumah peninggalan ayahnya. Ayah Leony bernama Andy Hartanto meninggal pada 15 Juni 2021 di Kota Tangerang Selatan, Banten. Curhatan Leony terkait pengalamannya mengurus balik nama rumah peninggalan ayahnya tersebut diunggah melalui akun Instagram pribadinya pada 8 September 2025.
Proses balik nama warisan dari ayahnya tersebut pun masuk kategori warisan, sehingga dirinya harus membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 2,5 persen dari nilai rumah. Namun menurutnya cukup memberatkan.
“Ternyata kita kena pajak waris… jadi itu 2,5 persen dari nilai rumahnya. Gue harus ngeluarin duit puluhan juta lagi cuma buat balik nama doang. I just feel it’s not fair,” kata Leony dikutip, Kamis (2/10/2025).
Menyikapi hal itu, Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah mengatakan Leony Vitria harus tetap mengikuti mekanisme dan prosedur dalam mengurus proses balik nama rumah warisan dan membayarkan BPHTB.
"Sebagai warga, kalau ada yang merasa keberatan atas pelayanan seharusnya bisa mengadu ke bagian Ombudsman di Pemkot Tangsel," kata Trubus dalam keterangannya pada Rabu 1 Oktober 2025.
Menanggapi keluhan mantan penyanyi cilik tersebut, pihak Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Pemkot Tangsel) tidak tinggal diam. Pemkot Tangsel mengaku akan memfasilitasi upaya pengurangannya ke pihak Dirjen Pajak. Trubus menilai bahwa langkah yang dilakukan Pemkot Tangsel dalam konteks pelayanan publik sudah menunjukkan Good Governance.
"Artinya tata kelola yang baik di mana masyarakat itu didampingi, difasilitasi untuk minta keringanan pajak karena ada warganya yang merasa keberatan dengan penghitungan pajak," katanya.
Dalam situasi ini, Trubus menyebut fungsi Pemkot dan Pemda yaitu dalam memberikan perlindungan kepada warganya telah dijalankan. “Jadi apa yang dilakukan Pemkot Tangsel dapat menjadi contoh dalam melakukan advokasi, pendampingan sekaligus keberpihakan kepada warganya," ujarnya.
Sementara Ahli Hukum Pajak Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Adrianto Dwi Nugroho menjelaskan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten atau kota. BPHTB dikenakan terhadap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, misalnya karena jual beli, hibah, warisan dan lain sebagainya.
Tarif BPHTB sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). “Artinya tarif BPHTB yang ditentukan dalam suatu peraturan daerah kabupaten/kota, tarifnya sudah diatur pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD)," kata Adrianto.
Menurutnya, penerapan BPHTB atas perolehan karena warisan diatur berdasarkan peraturan daerah di masing-masing kabupaten/kota Pemerintah, namun ia menyebut jika DPRD kabupaten/kota dapat mengecualikan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
"Misalnya karena adanya kebijakan tertentu dari pemerintah tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU HKPD)," kata dia.
Besaran BPHTB terutang, kata dia, dihitung dengan menggunakan self assessment system oleh wajib pajak, dengan cara mengalikan tarif dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), setelah dikurangi dengan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTКР).
Adrianto menjelaskan bahwa penghitungan tersebut nantinya akan melalui proses validasi oleh pejabat badan pendapatan daerah kabupaten/kota. Proses itu pun menjadi satu kesatuan dalam proses peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh pejabat pembuat akta tanah dan kantor pertanahan.
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 95 ayat (2) UU HKPD, ia menyebut ketika ada wajib pajak merasa keberatan karena mengalami kesulitan finansial, maka pemerintah daerah dimungkinkan untuk memberikan pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan pajak.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 102 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PP KUPD) juga mengatur bahwa kepala daerah dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak dan/atau objek Pajak Pengaturan lebih lanjut, termasuk petunjuk teknis dan pelaksanaan kedua pasal tersebut diatur pada peraturan daerah dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota.
"Istilah keberatan pajak memiliki makna sendiri sebagai upaya hukum dalam hal wajib pajak tidak menyetujui hasil penghitungan pajak oleh fiskus. Ketentuan mengenai keberatan pajak daerah diatur pada UU HKPD, PP KUPD, dan peraturan daerah kabupaten/kota serta peraturan bupati/walikota," katanya.
Terkait dengan BPHTB di setiap daerah persentasenya tidak sama, Adrianto menjelaskan bahwa hal itu karena di UU HKPD hanya mengatur tarif maksimum pajak-pajak daerah yang dapat dikenakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Khusus BPHTB, kata dia, Pasal 47 ayat (1) UU HKPD mengatur bahwa "Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Tarif yang riil dikenakan di tiap-tiap kabupaten/kota akan diatur dengan peraturan daerah (Pasal 47 ayat (2) UU HKPD).
"Selain itu, pemerintah kabupaten/kota juga diberi kewenangan untuk menentukan besaran NPOPTKP di wilayahnya," katanya. Ia menyebut bahwa pada Pasal 46 ayat (5) dan ayat (6) UU HKPD hanya mengatur NPOPTKP paling rendah yang dapat dihitung dalam menghitung besaran BPHTB terutang.
"Berbeda dengan tarif BPHTB, semakin besar NPOPTKP, semakin kecil BPHTB terutang," ujar Adrianto.
GAYA HIDUP | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
PERISTIWA | 1 hari yang lalu
HUKUM | 2 hari yang lalu
EKBIS | 5 jam yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
TEKNOLOGI | 1 hari yang lalu