Ahmad Tohari, Esther Haluk dan Murdiono Mokoginta Dianugerahi Penghargaan Penulis 2024
BeritaNasional.com - Tiga penulis yaitu Ahmad Tohari, Esther Haluk dan Murdiono Mokoginta dianugerahi penghargaan atas karya dan dedikasinya. Untuk Ahmad Tohari dianugerahi penghargaan Lifetime Achievement Award 2024, dari Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA atas kualitas karya dan dedikasinya sebagai penulis selama lebih dari 40 tahun.
Sementara Esther Haluk dari Papua diberi penghargaan Dermakata Award 2024, kategori fiksi atas kualitas karyanya, dan menyuarakan suara mereka yang terpinggirkan di Papua.
Sedangkan atas kualitas karyanya dan riset untuk sejarah lokal masyarakatnya di Bolmong, Murdiono Mokoginta dari Bolmong diberi penghargaan Dermakata Award, kategori nonnfiksi. Dermakata Award, baik fiksi maupun nonfiksi, diberikan oleh Lembaga Kreator Era AI.
“Masing-masing pemenang memperoleh Piagam Penghargaan dan hadiah dana. Jumlah dana 50 juta rupiah untuk Lifetime Achievement Award, dan 35 juta rupiah masing-masing untuk Dermakata Award,” kata Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA sekaligus Penggagas Lembaga Kreator Era AI, Denny JA dalam keterangannya, Senin (9/12/2024).
Denny JA juga mengumumkan yayasan yang didirikannya yakni Denny JA Foundation, sudah menghibahkan dana abadi untuk penghargaan tahunan bagi penulis. Dengan adanya dana abadi ini, hadiah tahunan bagi penulis dapat berlangsung hingga 50 tahun mendatang atau lebih.
Adapun terpilihnya para pemenang tersebut atas kerja berjenjang para juri. Para juri terdiri dari Anwar Putra Bayu (Sumatra), Dhenok Kristianti (Jawa), Hamri Manopo (Sulawesi), I Wayan Suyadna (Bali), Muhammad Thobroni (Kalimantan), Victor Manengke (Papua), dan Okky Madasari.
Untuk Lifetime Achievement Award, Anwar Putra Bayu sebagai ketua. Untuk Dermakata Award, Okky Madasari sebagai ketua. Pemenang diseleksi secara bertahap dari daerah, lalu diusulkan ke pusat.
Jika sastra adalah suara yang memahat waktu, maka Ahmad Tohari salah satu pemahat terpenting yang dimiliki Indonesia. Dalam perjalanan panjangnya, Tohari telah melahirkan karya-karya yang tidak hanya mencerminkan keindahan, tetapi juga menyuarakan kegelisahan manusia.
Pada 2024, ia layak menerima penghargaan Lifetime Achievement Award dari Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA karena tiga alasan yang tak terbantahkan.
Tohari tidak sekadar bercerita, ia merenungkan kompleksitas moral manusia dalam konteks sosial yang tak adil. Keberanian ini menjadikan Tohari lebih dari seorang sastrawan; ia adalah saksi zaman yang menolak berdiam diri.
Ketiga, ia adalah penghubung spiritualitas dan kemanusiaan. Dalam setiap paragrafnya, ada keseimbangan antara nilai-nilai spiritual dan realitas manusia. Tohari memadukan keduanya tanpa terjebak pada dogma. Baginya, spiritualitas adalah tentang pengertian yang mendalam terhadap sesama dan alam semesta.
“Pesan-pesan universal ini menjadikan karyanya relevan di tengah dunia yang semakin terfragmentasi. Lebih dari itu, Ahmad Tohari adalah pelita yang tidak hanya menerangi jalannya sendiri, tetapi juga jalan bagi generasi penulis masa depan. Ia adalah bukti bahwa sastra dapat menjadi jembatan untuk merawat warisan budaya, menantang ketidakadilan, dan menyentuh inti kemanusiaan,” ucapnya.
Kemudian, salah satu karya Esther Haluk yang monumental adalah "Nyanyian Sunyi" (2021). Buku puisi ini bukan hanya sekadar kumpulan kata-kata indah, tetapi juga refleksi mendalam tentang kehidupan di Papua.
Esther menggambarkan ketidakadilan sosial, kekerasan, dan perjuangan sehari-hari dengan bahasa yang lugas dan menggugah. Karya ini menjadi medium advokasi yang kuat, menyoroti diskriminasi berlapis yang dialami perempuan Papua: sebagai perempuan, sebagai masyarakat adat, dan sebagai korban konflik berkepanjangan.
“Esther Haluk memenuhi dua kriteria utama penerima Dermakata Award 2024 untuk kategori Fiksi: kualitas sastra dan dampak sosial,” ungkapnya.
Sementara, Murdiono dalah seorang pencerita. Dengan semangat yang tak kenal lelah, ia menelusuri arsip-arsip kolonial Hindia Belanda untuk menghidupkan kembali kisah-kisah yang hampir terlupakan.
Dedikasinya menunjukkan bahwa sejarah tidak hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang memahami akar yang membentuk masa kini dan merancang masa depan yang lebih berdaya.
Dengan karya mutakhirnya, "Abad Transisi: Bolaang Mongondow dalam Catatan Kolonial Abad XIX-XX" (2024), Murdiono Mokoginta (Dion) tidak hanya mencatat sejarah. Ia juga menghidupkannya dengan bahasa yang ringan, namun tetap berbobot.
Sebagai akademisi muda, Dion menunjukkan dedikasi luar biasa untuk memastikan bahwa sejarah Bolaang Mongondow tidak hanya dikenal, tetapi juga dihargai. Ia telah membangun fondasi yang kokoh bagi studi sejarah lokal, membuka ruang peradaban baru bagi komunitasnya, dan menunjukkan bahwa narasi lokal dapat memiliki dampak global.
“Murdiono Mokoginta adalah bukti bahwa sejarah tidak hanya milik masa lalu, tetapi juga alat untuk memahami siapa kita hari ini. Melalui "Abad Transisi", ia mengajak pembaca untuk melihat Bolaang Mongondow bukan hanya sebagai tempat di peta, tetapi sebagai bagian penting dari narasi sejarah Indonesia,” tandasnya.
6 bulan yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 5 jam yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
HUKUM | 1 hari yang lalu
OLAHRAGA | 14 jam yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu