Menkum Jelaskan Maksud Presiden Maafkan Koruptor, Bukan Biarkan Bebas

Oleh: Bachtiarudin Alam
Selasa, 24 Desember 2024 | 09:00 WIB
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas (Beritanasional/Bachtiar)
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas (Beritanasional/Bachtiar)

BeritaNasional.com - Menteri Hukum Supratman Andi Agtas meluruskan terkait pernyataan Presiden Prabowo Subianto perihal wacana memaafkan koruptor apabila bisa mengembalikan uang hasil korupsi.

Menurutnya, ucapan yang disampaikan Prabowo tidak serta merta memaafkan, karena dalam prinsipnya pemerintah Indonesia akan mengupayakan hukuman yang maksimal bagi koruptor. 

“Pemberian pengampunan bukan dalam rangka membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Sama sekali tidak,” kata Supratman dalam keteranganya, Selasa (24/12/2024).

Dilanjutkan Supratman, bahwa pernyataan Presiden itu terucap karena penekanan dalam sisi aspek pemulihan aset dalam kasus tindak pidana korupsi.

“Karena yang paling penting, bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana asset recovery itu bisa berjalan. Kemudian kalau asset recovery-nya bisa baik, pengembalian kerugian negara itu bisa maksimal. Presiden sama sekali tidak menganggap (pengampunan koruptor) dilakukan serta merta,” ujarnya.

Ia menjelaskan meskipun Presiden memiliki hak untuk memberikan pengampunan kepada koruptor. Namun tetap melalui proses pengawasan oleh Mahkamah Agung (MA) terkait grasi, serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal pemberian amnesti.

“Kalau melakukan grasi wajib minta pertimbangan ke MA. Sedangkan untuk amnesti, itu ke DPR. Artinya, perlu ada yang mengawasi sehingga adanya pertimbangan dari kedua institusi,” kata Supratman.

Lebih lanjut, Supratman mengungkapkan pemberian pengampunan kepada koruptor maupun pelaku kejahatan lainnya adalah hak kekuasaan yudikatif. Namun Undang-Undang Dasar 1945 memberikan hak konstitusional kepada Presiden untuk memiliki kekuasaan yudisial tersebut. 

Sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan yudisial yang melekat kepada Presiden sebagai kepala negara itu bersifat absolut. Kemudian pasca amandemen UUD 1945, kekuasaan Presiden tidak absolut. Presiden perlu meminta pertimbangan kepada MA dan DPR.

“Karena itu supaya keputusan yang diambil, apa itu grasi, amnesti, atau abolisi, ada aspek pengawasannya. Tidak serta-merta Presiden mengeluarkan tanpa pertimbangan kedua institusi tersebut,” tegas Supratman.

Selain Presiden, kewenangan memberikan pengampunan kepada koruptor dan pelaku kejahatan lainnya juga diberikan kepada Kejaksaan Agung melalui denda damai. Sehingga, baik Presiden maupun Kejaksaan Agung diberikan ruang untuk memberikan pengampunan.

“Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan untuk memberikan pengampunan karena Undang-undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai bagi perkara tindak pidana korupsi,” tutur Supratman.

Supratman pun menyebutkan bahwa proses pemberian pengampunan kepada koruptor masih menunggu arahan lebih lanjut dari Presiden Prabowo. 

“Oleh karena itu, teman-teman nanti bisa menunggu langkah konkret selanjutnya, setelah diberi arahan kepada kami oleh Bapak Presiden,” tutupnya.sinpo

Editor: Dyah Ratna Meta Novia
Komentar: