Gerindra: Putusan MK soal Ambang Batas Presiden Sebuah Harapan terhadap Demokrasi

Oleh: Ahda Bayhaqi
Senin, 06 Januari 2025 | 15:56 WIB
Sekjen Gerindra Ahmad Muzani saat diwawancarai di Gedung Parlemen, Jakarta. (BeritaNasional/Oke Atmaja)
Sekjen Gerindra Ahmad Muzani saat diwawancarai di Gedung Parlemen, Jakarta. (BeritaNasional/Oke Atmaja)

BeritaNasional.com - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra Ahmad Muzani menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas presiden atau presidential threshold merupakan sebuah kejutan sekaligus harapan terhadap Demokrasi. Sebab, sebelumnya, MK selalu menolak permohonan terkait ambang batas presiden.

"Baru pada kali ini Mahkamah Konstitusi, lembaga yang dulu oleh puluhan kali diajukan gugatan, Hakim yang sama, kemudian mengabulkan atas gugatan tersebut," ujar Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/1/2025).

"Terus terang di sisi lain ini adalah sebuah kejutan di sisi lain ini adalah sebuah harapan terhadap demokrasi," sambungnya.

Putusan MK ini, kata Muzani, mengagetkan. Sebab, selama ini, MK menolak permohonan dari berbagai macam latar belakang. Tidak pernah ada yang lolos terkait putusan ambang batas presiden.

"Ini adalah keputusan di awal 2025 yang saya kira mengagetkan karena keputusan ini sudah diajukan oleh berbagai macam elemen masyarakat, dari organisasi, lembaga, bahkan partai politik sampai perorangan, tidak pernah gol," katanya.

"Tercatat lebih dari 30 kali gugatan terhadap persoalan yang sama dengan berbagai macam argumentasi dan alasan tidak pernah mendapatkan. Mahkamah Konstitusi tidak pernah mengabulkan gugatan itu," jelas Muzani.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas presiden (presidential threshold) 20%. MK mengabulkan permohonan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.

"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2024).

MK menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pasal 222 itu berbunyi, Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar Suhartoyo.sinpo

Editor: Tarmizi Hamdi
Komentar: