Tragedi Lion Air JT 610: Duka Mendalam dan Pelajaran dari Langit Indonesia

Oleh: Tim Redaksi
Sabtu, 12 April 2025 | 08:00 WIB
Serpihan pesawat Lion Air JT 610. (BeritaNasional/Harits).
Serpihan pesawat Lion Air JT 610. (BeritaNasional/Harits).

BeritaNasional.com - Penerbangan Lion Air JT 610 mengalami kecelakaan tragis pada Senin pagi, 29 Oktober 2018. Pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 ini jatuh ke perairan Laut Jawa tak lama setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, menuju Pangkal Pinang, Bangka Belitung.

Pesawat dengan registrasi PK-LQP itu mengangkut 189 orang yang terdiri dari 181 penumpang dan 8 awak. Sayangnya, tidak ada satu pun yang selamat dari kecelakaan nahas tersebut. Tragedi ini menjadi kecelakaan pesawat pertama yang melibatkan Boeing 737 MAX 8 di dunia.

Dirangkum beragam sumber, pesawat lepas landas pada pukul 06.20 WIB, namun hanya 13 menit kemudian, kontak dengan menara kontrol terputus. Pilot sempat meminta izin kembali ke bandara, namun pesawat hilang dari radar sebelum permintaan tersebut terpenuhi.

Tim SAR gabungan segera dikerahkan setelah puing-puing dan serpihan pesawat ditemukan mengambang di perairan Tanjung Karawang. Beberapa jam setelah kejadian, badan pesawat, bagian mesin, dan barang-barang milik penumpang mulai ditemukan.

Dalam proses pencarian, black box atau kotak hitam pesawat menjadi target utama. Flight data recorder (FDR) berhasil ditemukan beberapa hari setelah kejadian, disusul oleh cockpit voice recorder (CVR) yang ditemukan beberapa bulan kemudian. Data dari kedua perangkat ini sangat penting dalam mengungkap penyebab kecelakaan.

Investigasi yang dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkap bahwa sistem Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) menjadi faktor utama dalam kecelakaan ini. MCAS merupakan fitur baru pada Boeing 737 MAX 8 yang bertujuan menstabilkan hidung pesawat agar tidak terlalu terangkat.

Petugas SAR melakukan evakuasi terhadap korban dan serpihan pesawat. (BeritaNasional/Harits)

Namun, sistem MCAS mengalami gangguan setelah menerima data keliru dari sensor Angle of Attack (AOA). Akibatnya, sistem secara otomatis menurunkan hidung pesawat meskipun tidak ada ancaman stall, yang membuat pilot kesulitan mengendalikan pesawat.

Selain masalah teknis, investigasi juga menyoroti prosedur pelatihan pilot serta dokumentasi yang kurang memadai dari pihak Boeing. Beberapa pilot sebelumnya melaporkan masalah serupa dalam penerbangan pesawat yang sama, namun belum ada tindakan perbaikan menyeluruh.

Tragedi JT 610 tidak hanya berdampak pada keluarga korban, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran global terhadap armada Boeing 737 MAX. Dalam beberapa bulan berikutnya, serangkaian kecelakaan serupa terjadi, termasuk Ethiopian Airlines pada Maret 2019, yang menyebabkan pesawat jenis tersebut dilarang terbang sementara di berbagai negara.

Lion Air JT 610 menjadi simbol peringatan akan pentingnya keselamatan penerbangan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap industri aviasi. Proses hukum, investigasi, serta kompensasi bagi keluarga korban berlangsung bertahun-tahun setelah insiden.

Hingga hari ini, tragedi ini masih meninggalkan duka mendalam bagi keluarga korban dan menjadi titik balik penting dalam sejarah penerbangan Indonesia. JT 610 dikenang sebagai salah satu kecelakaan terburuk dalam dunia penerbangan nasional.sinpo

Editor: Harits Tryan Akhmad
Komentar: