3 Sorotan KPK soal UU BUMN: Penyelenggara Negara hingga Kerugian Negara

Oleh: Panji Septo R
Kamis, 08 Mei 2025 | 06:30 WIB
Gedung Merah Putih KPK (BeritaNasional/Panji)
Gedung Merah Putih KPK (BeritaNasional/Panji)

BeritaNasional.com - UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN tengah menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Berdasarkan kajian lembaga antirasuah, KPK menegaskan masih berwenang mengusut kasus korupsi di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Berikut 3 hal penting yang menjadi sorotan KPK terkait UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN:

1. Anggap Insan BUMN Tetap Penyelenggara Negara

Ketua KPK Setyo Budiyanto menyoroti Pasal 9G UU Nomor 1 Tahun 2025 yang menyatakan anggota direksi, dewan komisaris, hingga dewan pengawas BUMN bukan penyelenggara negara.

Menurut Setyo, ketentuan tersebut kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur dalam undang-undang.

Di antaranya, Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 7 beserta Penjelasannya dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Setyo menerangkan UU Nomor 28 Tahun 1999 merupakan hukum administrasi khusus berkaitan dengan pengaturan penyelenggara negara yang bertujuan mengurangi KKN.

"Maka sangat beralasan jika konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi terkait penyelenggara negara, KPK berpedoman pada UU Nomor 28 Tahun 1999," ujar Setyo dikutip Kamis (8/5/2025).

Dia juga menyoroti salah satu isi Pasal 9G UU Nomor 1 Tahun 2025 yang berbunyi: “Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang”.

"Ketentuan demikian dapat dimaknai bahwa status Penyelenggara Negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN," tuturnya.

Dengan demikian, KPK berkesimpulan anggota direksi, dewan komisaris, hingga dewan pengawas BUMN tetap merupakan penyelenggara negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999.

"Sebagai penyelenggara negara, maka direksi, komisaris, dan pengawas BUMN tetap wajib melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan gratifikasi," tegasnya.

2. Tegaskan Kerugian BUMN Sebagai Kerugian Negara

Setyo juga menegaskan kerugian yang dialami Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan kerugian negara. 

Pernyataan ini merespons ketentuan dalam Pasal 4B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Dalam Pasal baru tersebut, kerugian BUMN dianggap bukan merupakan kerugian keuangan negara. Setyo mengatakan polemik itu bisa diselesaikan.

Salah satunya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 48/PUU-XI/2013, Nomor 62/PUU-XI/2013, Nomor 59/PUU-XVI/2018, dan Nomor 26/PUU-XIX/2021. 

Putusan MK itu, kata Setyo, menegaskan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan tetap termasuk dalam kategori keuangan negara, termasuk BUMN.

“Majelis Hakim MK telah memutus bahwa konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara," kata dia.

"Termasuk BUMN yang merupakan derivasi penguasaan negara. Segala pengaturan di bawah UUD tidak boleh menyimpang dari tafsir konstitusi MK,” imbuhnya.

Dengan demikian, Setyo mengatakan kerugian negara yang disebabkan BUMN dapat dibebankan sebagai tanggung jawab direksi, komisaris, dan pengawas BUMN. 

Setyo mengatakan kerugian negara itu bisa menjadi pertanggungjawaban pidana apabila timbul akibat perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang.

"Atau penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule sebagaimana diatur dalam Pasal 3Y dan Pasal 9F UU Nomor 1 Tahun 2025," tuturnya.

Dirinya mencontohkan perbuatan yang dapat menimbulkan pertanggungjawaban pidana. Di antaranya, praktik fraud, suap, pengambilan keputusan tanpa iktikad baik, konflik kepentingan, serta kelalaian mencegah terjadinya kerugian keuangan negara.

“Selama terdapat indikasi perbuatan melawan hukum, maka KPK tetap dapat menindak pelaku korupsi di BUMN karena kerugian yang ditimbulkan merupakan bagian dari keuangan negara,” tegas Setyo.

3. Tegaskan Masih Berwenang Usut Kasus Korupsi di BUMN

Setyo mengatakan pihaknya masih berwenang mengusut kasus korupsi di BUMN mulai dari penyelidikan hingga penuntutan.

“KPK berpandangan tetap memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,” kata dia.

Ia juga mengatakan korupsi yang dilakukan direksi, komisaris, hingga pengawas BUMN dalam konteks hukum pidana tetap sebagai penyelenggara negara.

“Dan kerugian yang terjadi di BUMN merupakan kerugian negara, sepanjang terdapat perbuatan melawan hukum,” tegasnya.

Hal ini juga sejalan berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf a dan b UU 19/2019 tentang KPK serta Putusan MK Nomor 62/PUU-XVII/2019, dimana ada kata dan/atau.

“Dalam pasal tersebut dapat diartikan secara kumulatif maupun alternatif. Artinya, KPK bisa menangani kasus korupsi di BUMN jika ada penyelenggara dan kerugian keuangan negara,” tegasnya.

KPK berpandangan bahwa penegakan hukum atas TPK di BUMN merupakan upaya untuk mendorong BUMN dalam menerapkan Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). 

“Sehingga pengelolaan BUMN sebagai kepanjangan tangan negara yang bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat tercapai,” tandansya.sinpo

Editor: Harits Tryan
Komentar: