Terduga Pelaku Pelecehan SMK Waskito Belum Ditahan, Orang Tua Korban: Kami Ingin Keadilan!

Oleh: Tim Redaksi
Sabtu, 02 Agustus 2025 | 12:09 WIB
Ilustrasi Ilustrasi kekerasan seksual. (Foto/Freepik)
Ilustrasi Ilustrasi kekerasan seksual. (Foto/Freepik)

BeritaNasional.com - Penegakan hukum kasus dugaan pelecehan seksual siswi SMK Waskito Tangerang Selatan ternyata masih jalan di tempat. Hingga kini terduga pelaku tak juga ditahan walaupun sudah dilaporkan oleh para korban.

Komisi II DPRD Tangerang Selatan terindikasi mencoba mengalihkan isu pidana menjadi politik terbukti dengan diselenggarakannya Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan pihak pengacara pelaku tanggal 2 Juli 2025.

Kondisi tersebut memantik protes dari orang tua korban, XX. Pihaknya mengaku selama ini berharap proses hukum terus dilakukan oleh pihak Polres Tangerang Selatan, yakni dengan menahan terlapor yang saat ini masih bebas dan melakukan pengancaman pada korban.  

"Bukti percakapan masih ada. Kesaksian anak saya jelas. Tapi dari pihak kepolisian hingga saat ini belum menahan pelaku. Kami lapor resmi, tapi tidak ada perkembangan. Tidak ada tindak lanjut. Seolah laporan kami hanya selembar kertas kosong, tidak ada kemajuan,” ujarnya dikutip, Sabtu (2/8/2025).

Belakangan, mereka malah mendengar bahwa pelaku dibantu oleh Komisi II DPRD Tangerang Selatan yang melakukan pertemuan dengan pengacara pelaku. 

"Ketika seorang anak perempuan menjadi korban, tapi pelaku justru dilindungi oleh koneksi politik. Jeritan anak kami sebagai korban diabaikan, aparat seperti Polres Tangerang Selatan seperti tidak menjalankan tugasnya melindungi yang lemah. Dari kondisi itu semuanya mulai jelas dan pelaku tetap bebas seolah tak pernah melakukan apa-apa," katanya. 

Baginya, suara dan perjuangannya bukan hanya untuk anaknya semata. Tapi untuk semua anak yang pernah merasa tercekik dalam ketidakadilan, dan semua orang tua yang merasa tak berdaya melawan sistem yang hanya berpihak pada yang kuat.

“Tolonglah anak saya, kami hanya ingin keadilan. Bukan balas dendam. Kami ingin anak kami tahu, bahwa suara perempuan yang terzolimi itu penting walaupun hukum bisa dibungkam oleh kuasa, kami tidak akan diam. Polres Tangerang Selatan seperti tidak melihat penderitaan kami. Sejak awal kami datang dengan tulus, berharap ada keadilan. Tapi kenyataannya? Pelaku masih bebas, tidak ada proses hukum. Tidak ada perlindungan. Tidak ada empati,” katanya.

Kasus ini pun mendapatkan sorotan dari  Pengamat hukum, Fajar Trio. Dia pun mengungkapkan keprihatinannya atas lemahnya penegakan hukum dalam perkara yang menyangkut keselamatan dan martabat korban di bawah umur, khususnya dalam kasus dugaan pelecehan seksual di SMK Waskito. 

“Ini bukan hanya kelalaian, tapi bisa mengarah pada pembiaran aktif oleh aparat penegak hukum, yang jelas bertentangan dengan tugas dan kewenangan mereka sebagaimana diatur dalam Undang-Undang,” kata Fajar.

Menurutnya, tindakan tidak menahan pelaku meskipun ada bukti permulaan yang cukup, ditambah dugaan intervensi politik, dapat melanggar prinsip profesionalisme dan akuntabilitas dalam penegakan hukum. 

Fajar pun lantas merujuk Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, jika kepolisian tidak menjalankan fungsi tersebut secara aktif, maka bisa dikategorikan sebagai kelalaian atau bahkan abuse of discretion.

“Pembiaran terhadap tindak pidana, apalagi yang menyangkut kekerasan seksual terhadap anak, bisa ditafsirkan sebagai pelanggaran etik dan disiplin anggota Polri. Jika terbukti disengaja, bisa juga mengarah pada tindak pidana berupa perintangan proses hukum (obstruction of justice),” ujarnya.

Sementara pada Pasal 421 KUHP juga dapat diterapkan, Ketika seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Hal ini dapat berlaku jika ada oknum Polres Tangerang Selatan terbukti ada tekanan dari pihak luar untuk tidak menindak atau bahkan menghentikan proses hukum.

“Jika polisi bersikap pasif karena tekanan politik, maka yang bersangkutan juga bisa dimintai pertanggungjawaban pidana maupun etik. Kita bicara soal integritas institusi,” katanya.

Fajar juga menyoroti dugaan keterlibatan Komisi II DPRD Tangerang Selatan yang disebut membuka ruang untuk Rapat Dengar Pendapat Umum dengan pengacara pelaku. Ia menegaskan bahwa tindakan tersebut berpotensi melanggar sumpah jabatan dan kode etik pejabat publik, apalagi kala kasus ini sudah dibawa ke ranah hukum. 

“Anggota DPRD punya tanggung jawab moral dan hukum untuk menjaga integritas. Jika terbukti melindungi pelaku, bisa dijerat Pasal 221 KUHP tentang menyembunyikan pelaku kejahatan dan dapat dihukum pidana."

Untuk itu, Fajar mendesak agar aparat penegak hukum bertindak independen dan menjunjung tinggi prinsip persamaan di hadapan hukum, tanpa tunduk pada tekanan kekuasaan, kekeluargaan, atau kepentingan politik. 

“Kita perlu memastikan bahwa korban dan keluarga mendapatkan keadilan. Negara harus hadir, bukan malah memberi ruang bagi pelaku kekerasan seksual untuk dilindungi,” pungkasnya.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari kepolisian maupun pihak DPRD terkait dugaan intervensi dalam kasus tersebut.sinpo

Editor: Harits Tryan
Komentar: