Penerapan Pasal Kerugian Negara Dinilai Berisiko dalam Kasus Korupsi Kuota Haji 2024

Oleh: Panji Septo R
Senin, 18 Agustus 2025 | 20:43 WIB
Mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut, memenuhi panggilan penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis (7/8/2025).   (Beritanasional.com/Oke Atmaja)
Mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut, memenuhi panggilan penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis (7/8/2025). (Beritanasional.com/Oke Atmaja)

BeritaNasional.com -  Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo, mengkritik langkah KPK yang menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 dalam perkara dugaan korupsi kuota haji 2024.

Sebagai informasi, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengatur tentang perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara, serta penyalahgunaan wewenang.

“Poin krusial di dalam kasus kuota haji ini, mengapa KPK menerapkan pasal terkait dengan kerugian keuangan negara?” ujar Yudi kepada Beritanasional.com, Senin (18/8/2025).

Yudi menilai bahwa penggunaan pasal lain justru akan lebih efektif. Oleh sebab itu, ia menyarankan KPK untuk memakai pasal suap menyuap atau gratifikasi.

Menurutnya, pembuktian kerugian negara bisa menjadi hambatan tersendiri dan berpotensi memperlambat jalannya penyidikan perkara.

“Karena kalau terkait dengan kerugian keuangan negara, tentu KPK harus membuktikan secara nyata di mana letak kerugiannya,” tuturnya.

Ia bahkan menyebut bahwa langkah KPK bisa memicu perdebatan apabila dalam jangka waktu tertentu kerugian negara tidak kunjung terbukti.

“Justru bagi saya akan terjadi perdebatan. Jadi, seharusnya KPK lebih fokus pada hal-hal yang jelas terlebih dahulu. Itu yang pertama,” katanya.

Selain itu, Yudi juga mendesak agar segera dilakukan penetapan tersangka. Ia menilai, KPK selama ini kerap menetapkan tersangka setelah menaikkan status perkara, namun tanpa kejelasan siapa yang dimaksud.

“Kemudian yang kedua, suka tidak suka, KPK harus segera menetapkan siapa yang menjadi tersangka dalam kasus ini. Kalau tidak, pengusutan kasus ini bisa menjadi bumerang bagi KPK,” ujarnya.

Ia menilai situasi saat ini menunjukkan adanya keraguan di internal penyidikan, karena belum ada kejelasan soal sosok tersangka.

“Jadi, penyidik sepertinya ragu siapa yang akan menjadi tersangka ketika menaikkan kasus dari penyelidikan ke penyidikan, tapi tersangkanya belum ada,” pungkas Yudi.sinpo

Editor: Imantoko Kurniadi
Komentar: