KPK Prihatin Gubernur Riau Abdul Wahid Diduga Minta Uang di Tengah APBD Defisit

Oleh: Panji Septo R
Kamis, 06 November 2025 | 09:45 WIB
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu. (BeritaNasional/Oke Atmaja)
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu. (BeritaNasional/Oke Atmaja)

BeritaNasional.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku prihatin dengan adanya kasus dugaan pemerasan yang menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid.

Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi Asep Guntur Rahayu menilai kasus tersebut miris karena dugaan pungutan uang itu terjadi di tengah kondisi keuangan daerah yang sedang defisit.

Asep menilai kasus ini memprihatinkan setelah dirinya menelusuri pernyataan Abdul Wahid pada Maret 2025.

Sebab, saat itu, Abdul Wahid menyebutkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau sedang defisit hingga triliunan rupiah.

“Ini sangat memprihatinkan. Kenapa? Setelah saya telusuri ada pernyataan dari gubernur Maret 2025 APBD Riau itu defisit Rp1,3 triliun,” ujar Asep di Gedung Merah Putih yang dikutip pada Kamis (6/11/2025). 

“Kemudian, yang penundaan bayar itu Rp2,2 triliun kalau tidak salah. Silakan dicek atau sekitar itu. Sehingga defisitnya Rp3,5 triliun. Bayangkan. Artinya bahwa APBD-nya itu kan defisit,” imbuhnya.

Asep menjelaskan defisit tersebut berdampak langsung pada kemampuan belanja pemerintah daerah untuk tiga komponen, yakni belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal.

“Terkait dengan belanjanya ini kan, anggaran pendapatan dan belanja daerah nih, nah pasti ini berpengaruh defisit itu terhadap belanjanya. Belanja daerahnya,” tuturnya.

Menurut Asep, kondisi defisit membuat pelaksanaan pembangunan dan belanja modal terhambat karena keterbatasan dana. 

“Belanja barang dan belanja modal, pembangunan fisik dan lain-lain, nah, itu yang akan terganggu dengan Rp2,5 triliun defisit. Artinya, sebetulnya semuanya itu berpotensi terganggu,” kata dia. 

Dia mengaku miris karena pegawai yang seharusnya didahulukan berpotensi tak mendapat gaji karena tidak ada uang.

Asep menyebut tindakan meminta uang dari bawahan di tengah kondisi keuangan daerah yang sulit merupakan bentuk ironi.

“Seharusnya dengan tidak adanya uang, orang kan ini lagi susah nih, enggak ada uang, jangan dong minta, gitu. Jangan membebani pegawainya. Jangan membebani bawahannya,” ucapnya.

 “Tapi ini kan ironi. Saat defisit, anggaran belanjanya istilahnya terganggu karena defisit itu, sementara malah minta sejumlah uang. Itu yang membuat kita sebetulnya prihatin,” tandas Asep.

Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga tersangka, yakni Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau M. Arief Setiawan, dan Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M. Nursalam.

Pemerasan itu terjadi karena tambahan anggaran UPT Jalan dan Jembatan Dinas PUPR PKPP Riau 2025 meningkat signifikan dari Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar (bertambah Rp106 miliar).

 Abdul Wahid memaksa para kepala UPT untuk memberi uang ‘jatah preman’ senilai Rp 7 miliar. Namun, dia ditangkap setelah menerima Rp 4,05 miliar.

Ketiganya resmi ditahan untuk kepentingan penyidikan selama 20 hari pertama, terhitung sejak 4 November hingga 23 November 2025. 

Abdul Wahid ditempatkan di Rumah Tahanan (Rutan) Gedung Anti-Corruption Learning Center (ACLC) KPK, sedangkan Arief dan Dani ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK.

Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e dan/atau Pasal 12 huruf f dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

 sinpo

Editor: Tarmizi Hamdi
Komentar: