6 Alasan Buruh Tolak Iuran Tapera

Oleh: Ahda Bayhaqi
Minggu, 02 Juni 2024 | 17:02 WIB
Buruh dari berbagai aliansi melakukan aksi damai dalam rangka Hari Buruh Internasional di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (1/5/2024). (BeritaNasional.Com/Oke Atmaja)
Buruh dari berbagai aliansi melakukan aksi damai dalam rangka Hari Buruh Internasional di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (1/5/2024). (BeritaNasional.Com/Oke Atmaja)

BeritaNasional.com - Presiden Partai Buruh dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mendesak pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 24 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera). Ada enam alasan mengapa Tapera harus dicabut.

Pertama, ada ketidakpastian buruh bisa membeli rumah dengan potongan 3 persen dari upah.

"Dengan potongan iuran sebesar 3% (tiga persen) dari upah buruh, dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah. Bahkan hanya untuk uang muka saja tidak akan mencukupi," kata Said dalam keterangannya, Minggu (2/6/2024).

Kedua, dalam PP Tapera, tidak ada satu klausul pun yang menjelaskan bahwa pemerintah ikut mengatur dalam penyediaan rumah untuk buruh dan peserta Tapera lainnya. Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha tanpa anggaran dari APBN dan APBD yang disisihkan pemerintah.

"Dengan demikian, Pemerintah lepas dari tanggung jawabnya untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat, disamping sandang dan pangan," kata Said.

Potongan iuran Tapera dinilai membebani buruh. Apalagi di tengah daya beli masyarakat yang tengah menurun.

"Potongan yang dikenakan kepada buruh hampir mendekati 12% (dua belas persen) dari upah yang diterima, antara lain Pajak Penghasilan 5% (lima persen), iuran Jaminan Kesehatan 1% (satu persen), iuran Jaminan Pensiun 1% (satu persen), iuran Jaminan Hari Tua 2% (dua persen), dan rencana iuran Tapera sebesar 2,5% (dua koma lima persen). Belum lagi jika buruh memiliki hutang koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin semakin membebani biaya hidup buruh," ujar Said.

Menurut Said, sistem anggaran Tapera membuka peluang untuk disalahgunakan. Ia menjelaskan, Tapera bukan jaminan sosial yang berasal dari pajak. Juga bukan bantuan sosial yang dananya dari anggaran negara. Tapera berasal dari uang masyarakat tetapi pemerintah sebagai penyelenggara.

"Model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah," katanya.

Tapera dinilai bersifat memaksa. Padahal pemerintah menyebut dana Tapera adalah tabungan, seharusnya dilakukan secara sukarela.

"Dan karena Tapera adalah tabungan sosial, tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar peserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan. Subsidi antar peserta hanya diperbolehkan bila program tersebut adalah jaminan sosial yang bersifat asuransi sosial, bukan tabungan sosial. Misalnya program jaminan kesehatan yang bersifat asuransi sosial, maka diperbolehkan penggunaan dana subsidi silang antar peserta BPJS Kesehatan," jelas Said.

Terakhir, pencairan dana Tapera dinilai tidak jelas dan rumit. Apalagi untuk buruh yang bisa di-PHK, mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera.

"Atas dasar enam alasan tersebut, Partai Buruh dan KSPI akan mempersiapkan aksi besar yang akan diikuti ribuan buruh pada hari Kamis tanggal 6 Juni di Istana Negara, Jakarta, dengan tuntutan untuk mencabut PP No. 2124 tentang Tapera dan merevisi UU Tapera," ujar Said Iqbal.sinpo

Editor: Harits Tryan Akhmad
Komentar: