Laporan: Pelaku Bisnis di Indonesia Khawatir Penipuan Berbasis AI, 46 Persen Bingung Belum Pahami Cara Kerjanya

Oleh: Tim Redaksi
Sabtu, 07 September 2024 | 08:30 WIB
Ilustrasi hacker. (BeritaNasional/Freepik)
Ilustrasi hacker. (BeritaNasional/Freepik)

BeritaNasional.com -  Seluruh pelaku bisnis di Indonesia merasa khawatir akan ancaman penipuan berbasis kecerdasan buatan (AI), seperti deepfakes. 

Namun, sebanyak 46 persen dari mereka masih belum memahami sepenuhnya bagaimana cara kerja teknologi tersebut. 

Hal ini diungkapkan dalam laporan terbaru dari VIDA, penyedia solusi pencegahan penipuan identitas digital, yang berjudul "Where's The Fraud: Protecting Indonesian Businesses from AI-Generated Digital Fraud"

Laporan tersebut memaparkan empat jenis penipuan digital yang paling banyak menargetkan bisnis di Indonesia, yaitu penipuan berbasis AI (deepfakes), rekayasa sosial (social engineering), pengambilalihan akun (account takeovers), serta pemalsuan dokumen dan tanda tangan. 

Empat sektor yang paling terdampak secara signifikan meliputi Perbankan & Fintech, Multifinance dan Pembiayaan Konsumen, Asuransi, serta Kesehatan.

Adrian Anwar, Managing Director sekaligus Group Chief Revenue Officer VIDA, menegaskan bahwa pelaku bisnis harus segera mengambil tindakan untuk melindungi diri dari penipuan digital. 

“Sebanyak 56 persen bisnis telah menghadapi penipuan identitas, dan 96 persen menghadapi pemalsuan dokumen. Hal ini menunjukkan bahwa dampaknya akan semakin besar. VIDA berkomitmen untuk menyediakan solusi yang canggih guna memberdayakan bisnis dalam mendeteksi, mencegah, serta merespons penipuan dengan lebih efektif,” kata  Adrian dalam peluncuran laporannya, dikutip Sabtu (7/9/2024).

Secara lebih luas, laporan VIDA juga menunjukkan bahwa ancaman penipuan berbasis AI kini telah menyusup ke berbagai sektor. 

Di sektor Perbankan dan Fintech, ancaman deepfakes dan rekayasa sosial dapat menyebabkan kerugian yang mencapai miliaran rupiah. 

Di sektor Multifinance dan Pembiayaan Konsumen, pengambilalihan akun dan pemalsuan dokumen menjadi masalah serius, dengan potensi kerugian mencapai Rp30 triliun per tahun.

Sektor Asuransi dan Kesehatan juga menghadapi risiko yang serupa. Pemalsuan dokumen dan tanda tangan meningkatkan risiko klaim palsu, sementara serangan rekayasa sosial menargetkan individu untuk memperoleh data sensitif. 

Ancaman ini tidak hanya menyebabkan kerugian finansial tetapi juga risiko reputasi yang besar.sinpo

Editor: Imantoko Kurniadi
Komentar: