Tidak Sepakat Ambang Batas Presiden Dihapus, Sekjen NasDem: MK Membuat Kerumitan

Oleh: Ahda Bayhaqi
Kamis, 02 Januari 2025 | 19:10 WIB
Kongres III Partai NasDem beberapa waktu lalu. (BeritaNasional/Oke Atmaja)
Kongres III Partai NasDem beberapa waktu lalu. (BeritaNasional/Oke Atmaja)

BeritaNasional.com - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai NasDem Hermawi Taslim tidak sepakat ambang batas presiden (presidential threshold) 20 persen dihapus seutuhnya. Seharusnya, batasnya yang dikaji kembali, bukan dihapus sepenuhnya.

"Bukan kurang sepakat, tapi tidak sepakat, yang terbuka untuk dibicarakan adalah persentasenya, bukan penghapusan," tegas Hermawi kepada wartawan pada Kamis (2/1/2024).

Menurut dia, ambang batas masih diperlukan sebagai aturan main mencari pemimpin yang kredibel. Bahkan, syarat ini berlaku secara universal.

"Presidential threshold diperlukan sebagai bagian dari aturan permainan sekaligus seleksi awal untuk mencari pemimpin yang kredibel, threshold ini merupakan aturan main yang sangat biasa, lumrah, dan berlaku universal," ujar Hermawi.

Ia mengaku tidak bisa membayangkan bagaimana penyelenggaraan Pilpres tanpa adanya ambang batas.

MK dinilai tidak memperhatikan konsekuensi dan kerumitan yang terjadi akibat tidak adanya ambang batas.

"Jadi, putusan MK itu kurang memperhatikan berbagai konsekuensi yang akan membawa kerumitan dan kesulitan dalam praktiknya kelak," ujarnya.

Karena itu, menurut Hermawi, seharusnya yang dikaji adalah angka ambang batas. Bukan justru dihapus seluruhnya.

"Kalau dengan alasan kesadaran politik rakyat semakin tinggi dan atau tingkat pendidikan semakin tinggi, yang relevan adalah meninjau persentase president threshold, bukan menghapus sama sekali," katanya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas presiden 20 persen. MK mengabulkan permohonan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.

"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2024).

Mahkamah menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pasal 222 itu berbunyi Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar Suhartoyo.

 sinpo

Editor: Tarmizi Hamdi
Komentar: