Eksepsi Hasto Singgung Kritik Pajak 12% sampai Pemilihan Ketua KPK, Hakim: Tidak Jelas

Oleh: Bachtiarudin Alam
Kamis, 13 Februari 2025 | 19:35 WIB
Suasana sidang putusan Praperadilan tersangka Hasto Kristiyanto di PN Jaksel. (BeritaNasional/Bachtiarudin Alam)
Suasana sidang putusan Praperadilan tersangka Hasto Kristiyanto di PN Jaksel. (BeritaNasional/Bachtiarudin Alam)

BeritaNasional.com - Majelis Hakim Tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Djuyamto telah memutuskan tidak dapat menerima gugatan praperadilan yang dilayangkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto atas penetapan sebagai tersangka oleh KPK.

Hal menarik tersaji dalam pertimbangan persidangan yang mana Djuyamto turut menilai bahwa nota pembelaan atau eksepsi dari Tim Hukum Hasto dianggap kabur atau tidak jelas (obscuur libel).

“Menyatakan praperadilan pemohon kabur atau tidak jelas, praperadilan pemohon tidak dapat diterima,” kata Hakim Tunggal Djuyamto saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (13/2/2025).

Dalam pertimbangan tertulisnya, Djuyamto menguraikan alasan tidak jelasnya eksepsi dari Hasto. Pertama, terkait tidak relevannya kritik yang dilontarkan Hasto terhadap kenaikan pajak menjadi alasan penetapan tersangka.

“Bahwa tidak ada relevansi antara kritik pemohon terkait kebijakan pajak pertambahan nilai sejumlah 12%, opsen pajak kendaraan bermotor sebesar 66% dengan perkara praperadilan a quo,” tulis keterangan dalam pertimbangan hakim.

Sebab, Djuyamto menjelaskan KPK sebagai aparat penegak hukum (APH) selaku termohon tidak dalam pihak berurusan dengan dalil soal kritik pajak yang sempat dilontarkan oleh Hasto.

Termasuk, lanjut Djuyamto, pertimbangan kedua perihal tudingan antara prosesi pengangkatan pimpinan KPK dengan ruang lingkup praperadilan yang hendak diujikan Hasto.

“Suksesi kepemimpinan pada lembaga termohon tidak seharusnya menjadi alasan (dalil),” katanya.

Sebab, Djuyamto menyebutkan KPK bukan sebagai organisasi politik yang menggunakan anasir-anasir politik dalam pelaksanaan tugas, pokok, dan fungsi. Namun, KPK adalah institusi penegak hukum.

“Bahwa sungguh tidak linier dengan petitum yang dimohonkan, berkaitan dengan kedua dalil (soal kritik pajak dan pengangkatan pimpinan KPK) tersebut,” tegasnya.

Seharusnya, secara formil, dalil-dalil dalam permohonan praperadilan (posita) atau fundamentum petendi, yaitu bagian yang berisi dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan.

“Dalam mengajukan suatu tuntutan, pemohon (Hasto) harus menguraikan terlebih dahulu alasan-alasan atau dalil-dalil yang melandasi pengajuan tuntutannya atau dengan kata lain posita/fundamentum petendi berisi uraian tentang kejadian perkara atau duduk persoalan suatu kasus,” ujarnya.

Selain itu, Djuyamto menyebutkan seharusnya Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengajukan gugatan dalam dua permohonan praperadilan.

Sebab, Hasto telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam dua kasus. Pertama, terkait dugaan kasus suap komisioner KPU periode 2017-2022 Wahyu Setiawan. Kedua, perintangan penyidikan kasus mantan caleg PDIP Harun Masiku.

“Hakim berpendapat permohonan pemohon seharusnya diajukan dalam dua permohonan praperadilan,” ujar Djuyamto.

Dalam perkara ini, Hasto diduga terlibat dalam suap PAW bersama advokat Donny Tri Istiqomah. Selain itu, dia diduga merintangi penyidikan dalam kasus Harun Masiku.

Tim hukum KPK mengungkap Hasto pernah meminjamkan uang senilai Rp 400 juta kepada Masiku dalam praperadilan. Hasto juga diduga merintangi penyidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Meski demikian, hal tersebut dibantah tim hukum PDIP. Mereka mengatakan tuduhan KPK itu tak ada dalam sidang perkara suap eks caleg PDIP Harun Masiku yang sudah inkrah.sinpo

Editor: Tarmizi Hamdi
Komentar: