Soal Kasus Suap Hakim, Pakar Hukum: Kepercayaan Masyarakat Terancam

Oleh: Bachtiarudin Alam
Selasa, 15 April 2025 | 10:11 WIB
kasus suap terkait pengaturan vonis lepas dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) tahun 2021–2022. (BeritaNasional/Panji Septo)
kasus suap terkait pengaturan vonis lepas dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) tahun 2021–2022. (BeritaNasional/Panji Septo)

BeritaNasional.com -  Masyarakat kembali dibuat geger dengan terungkapnya kasus dugaan suap yang melibatkan para hakim. Tercatat ada empat hakim yang terseret dalam kasus korupsi korporasi untuk memuluskan perkara ekspor CPO atau bahan baku minyak goreng.

Mereka adalah Ketua PN (Pengadilan Negeri) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, Agam Syarif Baharuddin (ASB), Ali Muhtarom (AM), dan Djuyamto (DJU), yang menerima suap dari Ariyanto Bakri bersama Marcella Santoso selaku pengacara korporasi.

Akibat kasus korupsi ini, dampaknya sangat besar terhadap kepercayaan masyarakat terhadap peradilan. Karena para hakim menerima suap di saat mereka seharusnya mengadili tindakan korupsi.

“Bentuk tindakan korupsi adalah tindakan suap. Jadi mereka yang kita percayakan untuk mengambil keputusan terkait dugaan orang melakukan korupsi, termasuk suap, justru menerima suap,” kata Pakar Hukum Pidana, Chairul Huda, dalam Dialog Beritanasional Malam, dikutip Selasa (15/4/2025).

Huda pun memandang terbongkarnya kasus ini sebagai duka yang sangat memprihatinkan dan mengecewakan bagi dunia hukum di Indonesia. Kasus ini terungkap tidak lama setelah kasus serupa terjadi di PN Surabaya.

Di sana, tiga hakim dan satu mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) turut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap untuk memuluskan vonis bebas bagi terdakwa Ronald Tannur atas kasus pembunuhan.

“Kita tidak melihat ada langkah konkret dari Mahkamah Agung untuk membenahi jajaran di bawahnya sejak peristiwa Surabaya itu, hingga sekarang terulang kembali,” kata Huda.

Bahkan, Huda mengaku tidak menutup kemungkinan masih adanya praktik korupsi dalam lingkup peradilan. Namun, menurutnya, semua itu hanya tinggal menunggu waktu untuk terungkap oleh aparatur penegak hukum.

“Belum ketahuan saja atau tidak tertangkap tangan. Dan kita tidak melihat ada pembenahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sejak peristiwa suap hakim di Surabaya hingga terjadinya peristiwa suap hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat,” tuturnya.

“Kalau saya berkesimpulan, bisa jadi praktik suap ini juga sampai ke Mahkamah Agung. Sehingga tidak dilakukan pembenahan yang seharusnya secara komprehensif untuk mengatasi masalah ini,” sambung Huda.

Adapun dampak lain yang disampaikan Huda adalah akibat adanya kasus suap di peradilan, hakim-hakim yang jujur pun bisa menjadi ragu ketika hendak menjatuhkan vonis bebas sesuai keyakinan dan fakta yang ada di persidangan.

“Karena begitu memutus bebas atau memutus lepas, akan dicari. Apakah ini bebasnya atau lepasnya sebagai sesuatu yang murni. Jadi yang saya khawatirkan adalah perkara itu nggak akan ada yang diputus bebas atau lepas,” ucapnya.

Huda juga menilai dampak tersebut bukan hanya menurunkan kepercayaan masyarakat, melainkan juga saling mencurigai di antara aparat penegak hukum. Karena mereka merasa curiga terhadap setiap kasus yang ditangani.

“Ini yang saya khawatirkan. Jadi bukan hanya masyarakat yang tidak percaya lagi pada hukum, bahkan penegak hukum dan hakim pun tidak lagi percaya pada hukum,” ujarnya.

Maka dari itu, Huda menyarankan agar ke depan Mahkamah Agung harus mengambil langkah konkret, bekerja secara transparan hingga ke jajaran mereka di tingkat pertama, guna memastikan peradilan berjalan secara adil.

“Sehingga kita semua bisa ikut berpikir, kita semua bisa ikut berkontribusi. Apa yang sebaiknya diperbaiki. Tentu yang paling tahu internal proses dan penunjukan adalah Majelis Hakim,” tuturnya.sinpo

Editor: Imantoko Kurniadi
Komentar: