Ekonom Minta Pemerintah Tak Gegabah Atur Ojol

BeritaNasional.com - Gelombang tuntutan dari pengemudi ojek online (ojol) kembali memuncak dengan aksi demonstrasi besar pada 20 Mei 2025. Mereka menilai potongan sebesar 20 persen terlalu memberatkan dan meminta intervensi pemerintah agar komisi diturunkan demi meningkatkan kesejahteraan mereka.
Sejumlah pejabat negara dan ekonom menyerukan agar pemerintah tidak terburu-buru merespons tuntutan secara populis. Mereka mengingatkan bahwa keputusan yang tidak berbasis data dan hanya mengakomodasi satu pihak bisa menimbulkan dampak negatif yang lebih luas terhadap ekosistem digital Indonesia.
Ekosistem ojek online dan layanan pengantaran digital adalah sistem yang sangat kompleks, melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Tidak hanya jutaan mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi, tetapi juga konsumen, pelaku UMKM, regulator, investor, penyedia layanan keuangan, logistik, teknologi, serta mitra bisnis lainnya seperti restoran, toko, gudang, dan bengkel. Setiap intervensi pada satu titik dalam ekosistem ini berpotensi menimbulkan efek domino yang merugikan banyak sektor.
Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi menanggapi tuntutan penurunan komisi menjadi 10 persen dengan penuh kehati-hatian.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Dudy mengatakan, aplikator memiliki skema potongan yang bervariasi dan pengemudi bebas memilih platform sesuai preferensi. “Para driver sebenarnya punya pilihan. Kita bisa lihat bahwa keempat aplikator ini GoJek, Grab, Maxim, dan InDrive memiliki pangsa pasar dan skema potongan yang berbeda,” ujarnya.
Dudy menambahkan, pemerintah tidak menutup kemungkinan menurunkan komisi, tetapi harus mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem. “Kalau saya tidak berpikir keseimbangan berkelanjutan, bisa saja. Enggak ada susahnya menandatangani aturan potongan 10 persen. Tapi rasanya tidak arif bagi kami kalau kami tidak mendengar semuanya,” katanya.
“Ini bukan sekadar bisnis biasa. Ada ekosistem besar di sini yakni pengemudi, perusahaan, UMKM, logistik, hingga masyarakat pengguna. Pemerintah ingin menjaga keberlanjutan dan keseimbangannya,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) Agung Yudha mengatakan, Industri ojol, taksol, dan kurir online berkontribusi sekitar 2% terhadap PDB Indonesia (ITB, 2023). Bila komisi dipaksakan turun, dampaknya bisa sangat besar.
Agung juga menyoroti dampak sosial dari penurunan komisi. “Hilangnya pendapatan pengemudi akan menurunkan daya beli mereka, yang kemudian berdampak pada sektor makanan, kebutuhan pokok, hingga layanan keuangan seperti pinjaman dan cicilan,” katanya.
Ia juga memerinci dampak besar yang terjadi bila komisi dipaksa turun:
-Hanya 10–30% mitra pengemudi yang bisa terserap ke lapangan kerja formal
-Penurunan aktivitas ekonomi digital bisa menekan PDB hingga 5,5%
-Sekitar 1,4 juta orang terancam kehilangan pekerjaan
-Dampak ekonomi total bisa mencapai Rp178 triliun, termasuk efek berantai pada sektor lain
Data Antara menunjukkan bahwa hingga 2024 lebih dari 600.000 UMKM telah bergabung di GrabFood dan GrabMart. Sejak pandemi hingga Mei 2022, lebih dari 2 juta UMKM telah didigitalisasi melalui Grab dan OVO.
Pada 2023, 500.000 UMKM baru masuk ke dalam platform. Gojek juga mencatat bahwa hingga Oktober 2022, 20,5 juta UMKM telah terdigitalisasi, dengan pertumbuhan signifikan pada 2020 sebesar 80 persen.
Penurunan pendapatan platform juga mengancam kelangsungan program digitalisasi UMKM, insentif pengemudi, dan pengembangan teknologi.
Lebih jauh lagi, sektor transportasi daring saat ini menjadi tumpuan hidup bagi lebih dari 3 juta orang, menurut data BPS dan Kementerian Kominfo. Kebijakan yang salah arah bisa menciptakan ketidakpastian besar bagi mata pencaharian mereka.
Sementara itu, riset dari CSIS dan Tenggara Strategics menunjukkan bahwa pada 2019 kontribusi industri mobilitas dan pengantaran digital telah mencapai Rp 127 triliun. Setiap peningkatan 10% jumlah mitra pengemudi terbukti mendorong kenaikan tenaga kerja di sektor mikro dan kecil sebesar 3,93%.
Dengan segala pertimbangan itu, Menhub dan para ekonom menekankan bahwa regulasi terhadap ekosistem digital tidak bisa dibuat secara tergesa-gesa atau emosional.
Ekonom Senior Piter Abdullah juga Executive Director Segara Institute telah memperingatkan bahwa regulasi yang memaksa penurunan komisi justru berpotensi merusak struktur industri digital yang telah dibangun selama lebih dari satu dekade.
“Setback, setback, saya khawatirkan setback industri yang kita bangun 10 tahun terakhir yang sudah memberikan manfaat terhadap perekonomian kita, baik itu di dalam pembentukan PDB dalam bentuk penciptaan lapangan kerja, memberikan penghasilan kepada begitu banyak masyarakat kita, itu bisa terhapuskan. Industri yang dulu, yang Bang Akbar pasti sempat ingat betapa kita membangga-banggakannya Indonesia memiliki unicorn, ya, itu akan hilang. Ini adalah cikal bakal dari industri digital yang kita bangun dan kita sebutkan sebagai salah satu potensi terbesarnya kita, itu akan hilang," ujar Piter.
"Industri ini adalah cikal bakal kita memasuki era industri teknologi. Itu bisa setback karena, pertama, kita bisa kehilangan investor. Kita kehilangan mereka yang mau berinvestasi pada bidang industri teknologi. Iya, karena ketidakpastian hukum tadi,” kata Piter.
Piter menekankan, struktur komisi merupakan hasil dari dinamika pasar. Jika pengemudi merasa tidak cocok dengan satu platform, mereka bebas beralih ke yang menawarkan potongan lebih rendah, seperti Maxim atau InDrive yang hanya memotong 9-15 persen. “Ini industri yang tidak memaksa dan tanpa monopoli."
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
HUKUM | 1 hari yang lalu
HUKUM | 1 hari yang lalu
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
PERISTIWA | 1 hari yang lalu
HUKUM | 23 jam yang lalu
HUKUM | 23 jam yang lalu
POLITIK | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
EKBIS | 1 jam yang lalu