Jemaah Haji Wukuf di Arafah, Inti Ibadah dan Refleksi Diri

Oleh: Tim Redaksi
Kamis, 05 Juni 2025 | 21:30 WIB
Para jemaah haji sedang wukuf di Padang Arafah. (Foto/Kemenag)
Para jemaah haji sedang wukuf di Padang Arafah. (Foto/Kemenag)

BeritaNasional.com - Jutaan jemaah haji dari berbagai penjuru dunia memadati Padang Arafah untuk melaksanakan wukuf, inti dari ibadah haji hari ini pada Kamis, 9 Zulhijah 1445 Hijriah.

Sekitar 2 juta jemaah tumpah ruah di lokasi yang sama, mengenakan pakaian ihram seragam, tanpa memandang usia, status sosial, maupun asal-usul, semuanya bersatu dalam ketaatan.

"الحَجُّ عَرَفَةُ" atau "Haji itu (adalah) Arafah," demikian bunyi hadis populer yang bersumber dari sahabat Abdurrahman ibn Ya'mar (Sunan at-Tirmidzi hadis nomor 889). 

Hadis ini menjadi dasar bagi mayoritas ulama fikih dari empat mazhab yang berpendapat bahwa ibadah haji tidak sah tanpa wukuf di Arafah.

Waktu wukuf dimulai sejak masuk waktu zuhur tanggal 9 Zulhijah hingga sebelum terbit fajar tanggal 10 Zulhijah.

Secara etimologi, wukuf berarti berhenti atau berdiam diri. Momen ini dimanfaatkan jemaah untuk berdiam diri dan melakukan refleksi diri, memperbanyak istigfar, tafakur, zikir, serta membaca Al-Qur'an atau kalimat thayyibah.

Haji: Puncak Ibadah yang Merangkum Seluruh Dimensi

Ibadah haji disebut sebagai puncak dari seluruh ibadah dalam Islam, karena merangkum seluruh pilar agama. 

Seperti dijelaskan dalam hadis populer, Islam dibangun di atas lima pilar: syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji bagi yang mampu. Haji menjadi pilar kelima yang unik karena melibatkan seluruh dimensi ibadah: ruhaniah (spiritual), jasmaniah (fisik), dan maliyah (harta/benda).

Syahadat adalah ibadah ruhaniah, salat melibatkan ruhaniah dan jasmaniah, zakat merupakan gabungan ruhaniah dan maliyah, sementara puasa adalah ruhaniah dan jasmaniah.

Haji adalah satu-satunya ibadah mahdah yang mencakup ketiga dimensi tersebut dalam bentuk perbuatan dan ucapan.

Karena sifatnya yang merangkum seluruh ibadah mahdah, haji menjadi ibadah terberat dan diwajibkan hanya sekali seumur hidup, dengan syarat ketat, yaitu istita’ah atau kemampuan. 

Kemampuan ini mencakup fisik, finansial, serta keamanan dan keselamatan individu maupun kolektif.

Kesehatan jasmani sangat penting mengingat durasi ibadah yang lama, mobilitas tinggi antar lokasi, dan tingginya intensitas kerumunan. 

Kemampuan finansial dibutuhkan untuk membiayai perjalanan, bekal hidup di Tanah Suci, hingga kembali ke kampung halaman. 

Faktor keamanan dan keselamatan juga krusial, seperti yang terlihat saat wabah COVID-19 pada tahun 2020 dan 2021, di mana haji dapat dibatalkan meskipun syarat fisik dan finansial terpenuhi.

Panggilan Suci dan Makna Talbiyah

Sejak memulai ihram hingga tawaf Ifadah, jemaah haji tak henti-hentinya mengumandangkan talbiyah:

"لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيكَ لَكَ"

(Aku sambut panggilan-Mu, ya Allah, aku sambut panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu, aku sambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan. Tiada sekutu bagi-Mu.)

Talbiyah merupakan ikrar jemaah haji sebagai sambutan ruhani atas panggilan Allah SWT dan menunjukkan kesiapan serta ketaatan mereka.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Hajj/22: 27: "Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh." Imam al-Qurthubi menafsirkan ayat ini bahwa Allah SWT telah memanggil manusia untuk berhaji sejak zaman Nabi Ibrahim (Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, Juz 12, 1408 H).

Meskipun menjadi ibadah terberat, haji memiliki daya tarik kuat bagi setiap muslim. Setiap muslim tentu memiliki keinginan untuk berhaji agar dapat menyempurnakan rukun agama.

Namun, kemampuan untuk memenuhi panggilan ini berbeda-beda. Bagi muslim yang belum mampu berhaji, hal itu tidak berarti ia adalah muslim yang tidak sempurna.

Arafah: Tempat Mengenal Diri dan Tuhan

Arafah bukan hanya lokasi wukuf, tetapi juga titik sentral untuk refleksi mendalam. Berdiam diri di Arafah dalam balutan pakaian ihram yang seragam menghapus simbol kelas dan strata sosial. Semua jemaah sama dan setara.

Atmosfer spiritual yang kuat dan totalitas berserah diri sangat mendukung proses berpikir mendalam tentang pengalaman, pikiran, atau tindakan masa lalu.

Menurut D. Boud, R. Keogh, & D. Walker (1985), kondisi ini penting untuk memastikan refleksi tidak bias oleh emosi intens. Selain itu, rasa aman dari berserah diri secara total memungkinkan refleksi efektif karena adanya keterbukaan dan kejujuran (J. Mezirow, 1991).

Melalui refleksi ini, jemaah diharapkan mencapai kesadaran tentang siapa dirinya di hadapan Tuhan. Dengan begitu,

ia menyadari kesalahan untuk tidak diulangi, serta kelemahan dan keterbatasan untuk tidak dimanipulasi sebagai kekuatan. Ini penting untuk selalu terkoneksi dengan Tuhan agar senantiasa dalam bimbingan dan rahmat-Nya.

Ungkapan Sufi terkenal, "من عرف نفسه فقد عرف ربه" (Siapa yang mengenali dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya), sangat relevan di Arafah. Nama "Arafah" sendiri berasal dari kata "arafa" yang berarti "mengenal" atau "mengetahui".

Ini menegaskan bahwa Arafah adalah tempat yang tepat bagi seseorang untuk mengenal jati dirinya melalui refleksi, doa, dan harapan agar mampu mengenal Tuhannya dengan baik. Wallahu a'lam bis-sawab.sinpo

Editor: Tarmizi Hamdi
Komentar: