BPOM Perkuat Sistem Pengawasan Obat-obat Tertentu yang Disalahgunakan

BeritaNasional.com - Kepala BPOM Taruna Ikrar menetapkan Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2025 tentang Obat-Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan 23 April 2025 kemudian diundangkan pada 2 Mei 2025 oleh Kementerian Hukum.
Peraturan ini merupakan pengganti dari Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan. Tinjau ulang regulasi ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan dalam melindungi kesehatan masyarakat dari risiko penyalahgunaan obat terutama obat-obat tertentu (OOT) yang sering disalahgunakan.
Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2025 ini memuat berbagai ketentuan baru yang memerkuat sistem pengawasan terhadap OOT, mulai dari tahap produksi, distribusi, penyimpanan, penyerahan hingga pemusnahan.
"Industri farmasi dan pedagang besar farmasi (PBF) diwajibkan untuk menerapkan standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) secara konsisten dalam setiap tahap pengelolaan OOT," ujarnya.
OOT adalah obat atau bahan obat yang sering disalahgunakan dan berpengaruh pada sistem susunan syaraf pusat selain narkotika dan psikotropika serta pada penggunaan di atas dosis terapi, dapat menyebabkan ketergantungan dan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
"Obat atau bahan obat yang termasuk dalam OOT seperti diatur dalam regulasi ini yaitu tramadol, triheksifenidil, klorpromazin, amitriptilin, haloperidol, ketamin, dan/atau dekstrometorfan"
Salah satu poin penting dalam regulasi terbaru ini adalah dimasukkannya ketamin ke dalam daftar OOT. Ketamin merupakan sebuah senyawa anestesi yang juga diketahui memiliki potensi tinggi disalahgunakan. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap meningkatnya angka penyalahgunaan ketamin yang telah menimbulkan kekhawatiran baik secara nasional maupun global.
Ketamin selama ini digunakan secara legal dalam praktik medis sebagai anestesi dan analgesik, terutama dalam prosedur bedah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, penyalahgunaan ketamin sebagai zat psikoaktif telah meningkat secara signifikan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai negara lain.
“Penyalahgunaan ketamin dapat menimbulkan efek halusinasi, disorientasi, dan dalam jangka panjang berpotensi menyebabkan gangguan neurologis dan psikologis yang serius. Oleh karena itu, pengaturan yang lebih ketat terhadap peredaran, penggunaan, serta pelaporan ketamin menjadi langkah strategis dalam pencegahan penyalahgunaan zat ini,” tegasnya..
Taruna menekankan dalam beberapa tahun terakhir, penyaluran ketamin ke fasilitas pelayanan kefarmasian mengalami peningkatan. Peredaran ketamin injeksi ke fasilitas pelayanan kefarmasian pada 2022 sebanyak 134 ribu vial, meningkat 75% pada 2023 menjadi 235 ribu vial. Pada 2024 menjadi 440 ribu vial atau meningkat sebanyak 87% dibandingkan tahun 2023.
Hasil temuan BPOM juga menunjukkan 7 provinsi di Indonesia yang menjadi lokus penyimpangan peredaran ketamin injeksi sepanjang tahun 2024, yaitu Lampung, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Barat. Provinsi Lampung mencatatkan angka penyimpangan tertinggi dengan 5.840 vial ketamin. Sementara itu, tiga provinsi lainnya yang juga menunjukkan angka tinggi adalah Bali dengan 4.074 vial, Jawa Timur sebanyak 3.338 vial, dan Jawa Barat dengan 1.865 vial.
Lebih lanjut, Taruna menjelaskan fasilitas pelayanan kefarmasian wajib mencatat secara rinci setiap transaksi obat termasuk identitas pasien, dosis, dan alasan penggunaan medis. Pengawasan internal juga harus diperkuat dengan kehadiran personil yang kompeten dalam proses penimbangan dan pengemasan ulang pada industri farmasi dan PBF, guna menjamin akuntabilitas dan mencegah kebocoran obat ke tangan yang tidak berwenang.
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
HUKUM | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
POLITIK | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
HUKUM | 1 hari yang lalu
OLAHRAGA | 17 jam yang lalu
PERISTIWA | 1 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu