Haji Tak Sah jika Jemaah Tinggalkan Salah Satu Rukun, Begini Penjelasannya

Oleh: Tarmizi Hamdi
Selasa, 11 Juni 2024 | 16:30 WIB
Jemaah haji. (Foto/Dok Kemenag)
Jemaah haji. (Foto/Dok Kemenag)

BeritaNasional.com - Rukun haji adalah rangkaian ibadah yang harus dilakukan dan tidak dapat diganti dengan amalan lain walaupun dengan dam.

Jika rukun ini ditinggalkan, ibadah haji seseorang tidak sah. Rukun haji tersebut adalah Ihram (niat), wukuf di Arafah, tawaf Ifadah, sa’i, cukur (tahallul), dan tertib.

Anggota Media Center Kementerian Agama Widi Dwinanda mengatakan diperlukan syarat, rukun, dan wajib haji bagi seorang muslim yang akan menjalankan ibadah haji.

“Jemaah perlu memiliki pemahaman yang baik tentang syarat, rukun, dan wajib haji, agar ibadah haji yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat,” kata Widi dalam keterangan resmi Kemenag di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Selasa (11/6/2024).

Menurut dia, seseorang yang akan menunaikan ibadah haji harus memenuhi syarat, yaitu Islam, telah Baligh (dewasa), Aqil (berakal sehat), Merdeka (bukan hamba sahaya), dan Istita’ah (mampu).

Istita’ah, jelas dia, seseorang mampu melaksanakan ibadah haji ditinjau dari segi jasmani, rohani, ekonomi, keamanan. 

Secara jasmani, jemaah harus sehat, kuat, dan sanggup secara fisik melaksanakan ibadah haji. 

Dari segi rohani, jemaah mengetahui dan memahami manasik haji, lalu berakal sehat dan memiliki kesiapan mental untuk melaksanakan ibadah haji dengan perjalanan yang jauh.

“Secara ekonomi, jemaah haji mampu membayar biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang ditentukan oleh pemerintah dan berasal dari usaha/ harta yang halal,” jelasnya.

Biaya haji yang dibayarkan bukan berasal dari satu-satunya sumber kehidupan yang apabila sumber kehidupan itu dijual terjadi kemudaratan bagi diri dan keluarganya dan memiliki biaya hidup bagi keluarga yang ditinggalkan.

Sementara dari segi keamanan, terang Widi, yaitu aman dalam perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji. 

Aman bagi keluarga dan harta benda serta tugas dan tanggung jawab yang ditinggalkan, dan tidak terhalang, misalnya mendapat kesempatan atau izin perjalanan haji termasuk mendapatkan kuota tahun berjalan, atau tidak mengalami pencekalan.

“Dan wajib haji adalah rangkaian amalan yang harus dikerjakan dalam ibadah haji yang bila salah satu amalan itu tidak dikerjakan ibadah haji seseorang tetap sah, tapi dia harus membayar dam,” tuturnya.

Wajib haji tersebut yaitu Ihram, yakni niat berhaji dari miqat, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina, melontar jumrah Ula, Wusta dan Aqabah, dan tawaf Wada (bagi yang akan meninggalkan Makkah).

“Jika seseorang sengaja meninggalkan salah satu rangkaian amalan itu tanpa adanya uzur syar’i, ia berdosa,” tandas dia.

Widi menyampaikan, mulai hari ini, 11 Juni 2024, operasional bus shalawat akan diberhentikan melayani jemaah. Pemberhentian operasional bus shalawat akan berlangsung selama empat hari sebelum pelaksanaan puncak haji di Arafah. Menurutnya, pemberhentian operasional bus shalawat tersebut disebabkan ditutupnya jalur-jalur yang biasa dilalui bus salawat karena padatnya arus lalu lintas jelang puncak haji.

“Penghentian ini juga mendorong para jemaah bisa fokus untuk persiapan puncak haji di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina),” ucapnya.

Menunggu puncak haji, kata Widi, jemaah agar menempatkan persiapan menjalani rangkaian puncak haji sebagai prioritas utama. Aktivitas ibadah dapat dilakukan di hotel dan membatasi bepergian ke luar hotel.

“Manfaatkan waktu-waktu menghadapi puncak haji dengan memperbanyak amalan ibadah, berzikir, mendalami manasik haji, menjaga kebugaran tubuh dengan makan yang teratur dan tepat waktu serta istirahat yang cukup,” pesannya.sinpo

Editor: Tarmizi Hamdi
Komentar: