5 Puisi Sapardi Djoko Damono tentang Malam

Oleh: Tim Redaksi
Selasa, 23 Juli 2024 | 02:00 WIB
Ilustrasi karya sastra. (Foto/Freepik)
Ilustrasi karya sastra. (Foto/Freepik)

BeritaNasional.com - Sapardi Djoko Damono adalah sosok fenomenal di dunia sastra. Beliau juga merupakan maestro puisi kebanggaan Indonesia. Menggunakan kata-kata yang sederhana dan apa adanya, menjadi kekuatan puisi-puisi Sapardi. Karya-karyanya dapat menyelami alam pikiran dan menyejukkan benak.

Dikutip dari Gramedia.com, penyair kebanggaan Indonesia ini lahir pada 20 Maret 1940, di mana masa muda beliau dihabiskan di kota tersebut.

Kecintaannya menulis dimulai sejak bangku SMA, di mana karyanya sudah sering diterbitkan di majalah. Dan ketika menempuh kuliah bidang bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada (UGM), beliau semakin menggeluti dunia menulis. Selama periode ini Pak Sapardi juga terlibat dalam siaran radio dan teater.

Karir sastra beliau pun berkembang, Pak Sapardi sempat menjadi Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison. Dan sudah tak terhitung berapa banyak penghargaan yang dianugerahkan kepada beliau.

Kecintaannya pada dunia sastra pun ia dedikasikan dengan mengajar di sejumlah tempat, termasuk Madiun, Solo, Universitas Diponegoro Semarang, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Institut Kesenian Jakarta, dan sempat menjadi dekan dan guru besar.

Berikut adalah 3 puisi Sapardi Djoko Damono bertema malam:

1. Malam Itu Kami di Sana

“Kenapa kaubawa aku ke mari, Saudara?”; sebuah stasiun

di dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peron

menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak

letihnya

meloncat, merapat ke Sepi. Barangkali saja

 

kami sedang menanti kereta yang biasa tiba

setiap kali tiada seorang pun siap memberi tanda-tanda;

barangkali saja kami sekedar ingin berada di sini

ketika tak ada yang bergegas, yang cemas, yang

menanti-nanti;

 

hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel, mengeras

tiba-tiba;

sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di

udara

sementara bayang-bayang putih di seluruh ruangan,

“Tetapi katakan dahulu, Saudara, kenapa kaubawa aku ke

mari?”

(1970)

 

2. Percakapan Malam Hujan

Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung,

    berdiri di samping tiang listrik.

Katanya kepada lampu jalan, "Tutup matamu dan tidurlah. Biar

    kujaga malam."

"Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara

    desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan

    menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang." 

 

3. Pada Suatu Malam

ia pun berjalan ke barat, selamat malam, solo,

katanya sambil menunduk.

seperti didengarnya sendiri suara sepatunya

satu persatu.

barangkali lampu-lampu ini masih menyala buatku, pikirnya.

kemudian gambar-gambar yang kabur dalam cahaya,

hampir-hampir tak ia kenal lagi dirinya, menengadah

kemudian sambil menarik nafas panjang.

ia sendiri saja, sahut-menyahut dengan malam,

sedang dibayangkannya sebuah kapal di tengah lautan

yang memberontak terhadap kesunyian.

 

 sunyi adalah minuman keras. beberapa orang membawa perempuan.

beberapa orang bergerombol, dan satu-dua orang

menyindiri diri sendiri; kadang memang tak ada lelucon lain.

barangkali sejuta mata itu memandang ke arahku, pikirnya;

ia pun berjalan ke barat, merapat ke masa lampau.

 

selamat malam, gereja. hei, kaukah anak kecil

yang dahulu menangis di depan pintuku itu?

ia ingat kawan-kawannya pada suatu hari natal

dalam gereja itu, dengan pakaian serba baru,

bernyanyi; dan ia di luar pintu. ia pernah ingin sekali

bertemu yesus, tapi ayahnya bilang

yesus itu anak jadah.

ia tak pernah tahu apakah ia pernah sungguh-sungguh

mencintai ayahnya.

 

barangkali malam ini yesus mencariku, pikirnya.

tapi ia belum pernah berjanji kepada siapa pun

untuk menemui atau ditemui;

ia benci kepada setiap kepercayaan yang dipermainkan.

ia berjalanan sendiri di antara orang ramai.

seperti didengarnya seorang anak berdoa; ia tak pernah

diajar berdoa.

ia pun suatu saat ingin meloloskan dirinya ke dalam doa,

tetapi tak pernah mengetahui

awal dan akhir sebuah doa; ia tak pernah tahu kenapa.

barangkali seluruh hidupku adalah sebuah doa yang panjang.

 

katanya sendiri; ia merasa seperti tentram

dengan jawabannya sendiri:

hidup adalah doa yang panjang.

pagi tadi ia bertemu seseorang, ia sudah lupa namanya.

lupa wajahnya: berdoa sambil berjalan …

ia ingin berdoa malam ini, tapi tak bisa mengakhiri,

tak bisa menemukan kata penghabisan.

 

ia selalu merasa sakit dan malu setiap kali berpikir

tentang dosa; ia selalu akan pingsan

kalau berpikir tentang mati dan hidup abadi.

barangkali tuhan seperti kepala sekolah, pikirnya

ketika dulu ia masih di sekolah rendah. barangkali tuhan

akan mengeluarkan dan menghukum murid yang nakal,

membiarkannya bergelandangan dimakan iblis.

barangkali tuhan sedang mengawasi aku dengan curiga,

pikirnya malam ini, mengawasi seorang yang selalu gagal berdoa.

 

apakah ia juga pernah berdoa, tanyanya ketika berpapasan

dengan seorang perempuan. perempuan itu setangkai bunga;

apakah ia juga pernah bertemu yesus, atau barangkali

pernah juga dikeluarkan dari sekolahnya dulu.

 

selamat malam, langit, apa kabar selama ini?

barangkali bintang-bintang masih berkedip buatku, pikirnya.

ia pernah membenci lagit dahulu,

ketika musim kapal terbang seperti burung

menukik: dan kemudian ledakan-ledakan

(saat itu pulalah terdengar olehnya ibunya berdoa

dan terbawa pula namanya sendiri).

kadang ia ingin ke langit, kadang ia ingin mengembara saja

ke tanah-tanah yang jauh; pada suatu saat yang dingin

ia ingin lekas kawin, membangun tempat tinggal.

 

ia pernah merasa seperti si pandir menghadapi

angka-angka … ia pun tak berani memandang dirinya sendiri

ketika pada akhirnya tak ditemukannya kuncinya.

pada suatu saat seorang gadis adalah bunga,

tetapi di lain saat menjelma sejumlah angka

yang sulit. ah, ia tak berani berkhayal tentang biara.

 

ia takut membayangkan dirinya sendiri. ia pun ingin lolos

dari lampu-lampu dan suara-suara malam hari,

dan melepaskan genggamannya dari kenyataan;

tetapi disaksikannya: berjuta orang sedang berdoa,

para pengungsi yang bergerak ke kerajaan tuhan,

orang-orang sakit, orang-orang penjara,

dan barisan panjang orang gila.

ia terkejut dan berhenti,

lonceng kota berguncang seperti sedia kala

rekaman senandung duka nestapa.

 

seorang perempuan tertawa ngeri di depannya, menawarkan sesuatu.

ia menolaknya.

ia tak tahu kenapa mesti menolaknya.

barangkali karena wajah perempuan itu mengingatkannya

kepada sebuah selokan, penuh dengan cacing;

barangkali karena mulut perempuan itu

menyerupai penyakit lepra; barangkali karena matanya

seperti gula-gula yang dikerumuni beratus semut.

dan ia telah menolaknya, ia bersyukur untuk itu.

kepada siapa gerangan tuhan berpihak, gerutunya.

 

ia menyaksikan orang-orang berjalan, seperti dirinya, sendiri;

atau membawa perempuan, atau bergerombol,

wajah-wajah yang belum ia kenal dan sudah ia kenal,

wajah-wajah yang ia lupakan dan ia ingat sepanjang zaman,

wajah-wajah yang ia cinta dan ia kutuk,

semua sama saja.

barangkali mereka mengangguk padaku, pikirnya;

barangkali mereka melambaikan tangan padaku setelah lama berpisah

atau setelah terlampau sering bertemu. ia berjalan ke barat.

 

selamat malam. ia mengangguk, entah kepada siapa;

barangkali kepada dirinya sendiri. barangkali hidup adalah

doa yang panjang, dan  sunyi adalah minuman keras.

ia merasa tuhan sedang memandangnya dengan curiga;

ia pun bergegas.

barangkali hidup adalah doa yang …

barangkali sunyi adalah …

berangkali tuhan sedang menyaksikannya berjalan ke barat.

(1964)sinpo

Editor: Tarmizi Hamdi
Komentar: