DPR Belum Putuskan Penghapusan Ambang Batas Presiden Lewat Omnibus Law
BeritaNasional.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI belum memutuskan apakah perubahan UU Pemilu terkait penghapusan ambang batas presiden atau presidential threshold akan melalui Omnibus Law. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menjamin bahwa DPR akan segera mengubah undang-undang untuk menghapus ambang batas presiden.
"Ya, saya belum tahu apakah akan menggunakan Omnibus Law atau tidak, tetapi kita semua tahu bahwa keputusan dari MK itu adalah final dan mengikat, serta wajib kita taati," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/1/2024).
"Nah, apakah itu akan dimasukkan dalam revisi undang-undang atau ada undang-undang yang akan diomnibuskan, itu belum kita putuskan," sambungnya.
DPR membuka peluang untuk membahas revisi undang-undang ini pada masa sidang berikutnya. DPR akan mengakhiri masa reses setelah tanggal 15 Januari.
"Kita akan masuk masa sidang setelah reses, tanggal 15 Januari," kata Dasco.
DPR akan melakukan kajian rekayasa konstitusi yang diminta oleh MK. Dasco menyoroti permintaan MK agar calon presiden yang maju tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit.
"Sehingga kita akan coba kaji dengan teman-teman di parlemen untuk membahas bagaimana rekayasa konstitusi yang diputuskan oleh MK itu akan dijalankan oleh DPR, supaya tidak menyalahi aturan yang ada," kata Dasco.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus ambang batas presiden (presidential threshold) sebesar 20%. MK mengabulkan permohonan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK, Suhartoyo, membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2024).
Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Pasal 222 tersebut berbunyi: Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat," ujar Suhartoyo.
7 bulan yang lalu
EKBIS | 1 hari yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
PERISTIWA | 1 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 15 jam yang lalu
DUNIA | 1 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 1 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
EKBIS | 2 hari yang lalu