Akademisi Soroti Beberapa Hal Dalam Revisi UU Kejaksaan

Oleh: Bachtiarudin Alam
Sabtu, 22 Februari 2025 | 20:30 WIB
Gedung Kejaksaan Agung. (Foto/Sinpo).
Gedung Kejaksaan Agung. (Foto/Sinpo).

BeritaNasional.com - Wacana dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Kejaksaan dinilai bisa berbahaya dan rentan disalahgunakan. Sejumlah akademisi pun buka suara, atas wacana yang menambah beberapa fungsi jaksa.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Ali Syafaat mempertanyakan alasan dikebutnya revisi terhadap UU Kejaksaan. Pasalnya, saat ini tidak ada alasan mendesak yang membuat RUU Kejaksaan menjadi diperlukan. 

"Perubahan terhadap UU Kejaksaan belum memiliki urgensi. Begitupula RUU Polri dan RUU TNI. Jika ada penambahan Kewenangan pasti akan ada konflik kepentingan dan tumpang tindih kewenangan," kata Ali saat dihubungi, Sabtu (22/2/2025).

Ali menegaskan apabila penambahan kewenangan itu benar dilakukan maka hanya akan menimbulkan potensi penyalahgunaan kewenangan baru. Padahal, ada yang jauh lebih penting dibutuhkan saat ini adalah penguatan lembaga pengawasan penegak hukum.

"Perubahan terhadap UU ini yang disebut sebagai autocratic legalisme, berbahaya bagi demokrasi dan HAM juga negara hukum," tuturnya. 

Sementara itu Anggota Komisi Kejaksaan periode 2019-2023, Bhatara Ibnu Reza menyoroti pemberian kewenangan yang sangat luas bagi Jaksa. Di mana, memiliki kewenangan sangat luas dalam konteks penegakan hukum.

"Kewenangan untuk melakukan penyadapan yang dapat mengancam HAM, hingga fungsi intelijen yang berbahaya dan berpotensi untuk disalahgunakan secara sewenang- wenang," jelasnya.

Semisal, lanjut Bhatara, kewenangan intelijen dalam RUU Kejaksaan yang dapat melakukan penyelidikan sangatlah menyalahi hakikat dari intelijen itu sendiri. Sebab, intelijen seharusnya bekerja di ruang-ruang yang rahasia dan tidak boleh bersentuhan langsung dengan objek. 

"Kasi Intel bisa manggil orang diluar konteks pro yustisia dan bisa memanggil siapapun tanpa ada alasan dan bukti permulaan cukup," jelasnya. 

Bhatara menegaskan seharusnya intelijen Kejaksaan tidak menyentuh objek tetapi cukup untuk mengumpulkan informasi dan menganalisa informasi, bukan melakukan penyelidikan. 

"Ini berbahaya dan mudah dilakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan lainnya diluar tugas dan fungsi Kejaksaan," tuturnya. 

Di sisi lain, praktisi hukum Awan Puryadi turut menyoroti hak imunitas jaksa yang masih tertuang dalam RUU terbaru. Padahal, kata dia, hak imunitas itu sangat rentan disalahgunakan oleh jaksa-jaksa nakal.

Tak hanya itu, Awan menyebut dalam draft RUU Kejaksaan yang beredar nantinya jaksa akan memiliki kewenangan berlebih dalam proses penegakan hukum. Mulai dari penyelidikan, intelijen hingga penuntutan. 

"Padahal, UU Kejaksaan tahun 2021 telah memberi kewenangan yang berlebihan pada Jaksa dan potensial disalahgunakan seperti masalah hak imunitas Jaksa," tuturnya. 

"Dengan demikian, RUU kejaksaan saat ini adalah untuk melengkapi UU Kejaksaan 2021 dengan memperkuat kewenangan yg berlebihan itu dan ini sangat berbahaya," tambah Awan. 

Tidak ketinggalan, anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Gina Sabrina juga mengkritik penambahan kewenangan bagi jaksa yang tidak dibarengi dengan penguatan di sektor pengawasan.

Gina menegaskan hal itu sangatlah berbahaya mengingat Kejaksaan sendiri saat ini banyak diadukan terkait pelanggaran HAM hingga kode etik dalam proses penegakan hukum.

"Kejaksaan banyak diadukan berkaitan dengan pelanggan kode etik dan penetapan, penahanan sewenang- wenang. Perubahan UU Kejaksaan harus mempertimbangkan mekanisme check and balances agar tidak berujung pada penyalahgunaan kekuasaan," tuturnya.sinpo

Editor: Harits Tryan Akhmad
Komentar: