Tim Pengacara Hasto Kristiyanto Soroti Inkonsistensi Jaksa dan Campur Aduk Fakta-Asumsi dalam Fakta Sidang

Oleh: Bachtiarudin Alam
Kamis, 24 April 2025 | 22:15 WIB
Tin pengacara Hasto Kristyanto, Febri Diansyah memberikan keterangan di pengadilan Tipikor. (BeritaNasional/Bachtiarudin Alam)
Tin pengacara Hasto Kristyanto, Febri Diansyah memberikan keterangan di pengadilan Tipikor. (BeritaNasional/Bachtiarudin Alam)

BeritaNasional.com -  Anggota tim kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah, menyoroti sejumlah kejanggalan dalam sidang pemeriksaan terhadap ssaksieks Komisioner Bawaslu Agustiani Tio Fridelina dan pengacara PDI-P, Donny Tri Istiqomah.

Kejanggalan itu terkait dugaan suap terpidana mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang dinilai Febri ada inkonsistensi dalam dakwaan JPU serta campur aduknya fakta dengan asumsi dalam sidang.

“Jadi penuntut umum itu mendakwa pemberian uang sejumlah Rp 600 juta yang diberikan sebanyak 2 kali. Tadi confirm dan sesuai dengan keterangan saksi sebelumnya yang hari Kamis, minggu lalu, bahwa pemberian uang tersebut hanya terjadi satu kali. Satu kali pada tanggal 17 Desember 2019," ujar Febri kepada awak media usai sidang Kamis (24/4/2025), 

Lantas, Febri menyoroti mengenai ketidaksesuaian jumlah uang dalam dakwaan dengan fakta persidangan. Terlebih, disebutkan ada uang yang diserahkan Eks Kader PDIP, Saeful Bahri bersama Tio menyerahkan uang yang berasal dari Harun Masiku.

“Dari tuduhan awal Rp600 juta ternyata baru Rp200 juta yang diberikan. Kenapa kami berani mengatakan seperti itu? Karena tadi saksi mengatakan yang 400 atau 38.300 dolar Singapura tersebut tidak pernah berpindah tangan,” kata Febri.

 

“Bahkan hanya diperlihatkan amplopnya tapi kemudian diambil kembali dan ingin dikembalikan oleh Ibu Tio pada Saeful. Jadi tidak pernah ada pemberian 600 apalagi penerimaan 600. Berkesesuaian ya dengan keterangan Wahyu yang kemarin. Itu yang pertama terkait dakwaan karena indikator yang bisa kita gunakan adalah dakwaan," sambungnya.

Selain inkonsistensi dakwaan, Febri juga menyoroti adanya percampuran antara fakta dan asumsi yang terungkap selama persidangan. Khususnya soal keterangan dari terpidana Wahyu Setiawan yang telah diperiksa pada sidang pekan kemarin. 

Wahyu sempat menyebut sempat mendengar Saeful dan Advokat PDIP, Donny Tri Istiqomah berbicara soal sumber uang di ruangan rokok. Momen itu terjadi pada 2020 silam, selepas mereka terjaring OTT oleh KPK.

“Wahyu Setiawan mendengar Saeful Bahri dan Donny bicara tentang sumber dana. Nah tadi kita tanya ke Donny, Donny ternyata mengatakan satu tidak benar semuanya di ruang rokok. Karena Saeful justru ada di musola pada saat itu dan Ibu Tio ada di mushola di lantai 2 gedung KPK di sela pemeriksaan," jelas terangnya. 

Febri kemudian memberikan contoh bagaimana asumsi keliru dibangun berdasarkan keterangan yang tidak terverifikasi. 

"Justru Wahyu yang curhat dan bertanya pada Donny. Karena Donny ini kan background-nya juga lawyer ya. Wahyu yang bertanya pada Donny, kalau saya ini kan kena 2 kasus kata Wahyu, kira-kira hukuman saya berapa?” singgung Febri.

“Itu diputarbalikkan seolah-olah Wahyu mendengar Donny dan Saeful bicara. Nah itulah yang kemarin, minggu lalu yang kami sebut sebagai kita tidak bisa berpegangan dan hukum tidak boleh bergantung pada apa yang disebut dengan testimonium de auditu atau yang disebut dalam istilah keseharian kabar burung,” tambahnya.

Padahal, Febri pada saat sidang telah mengkonfirmasi keterangan dari Wahyu yang mendengar soal sumber uang. Namun, nyatanya itu berbanding terbalik dengan keterangan dari Donny dan Tion yang menjadi saksi pada hari ini.

“Ibu Tio tidak pernah mendengar itu sama sekali. Tadi kan ditegaskan, meskipun pada saat itu Ibu Tio sholat, tapi tidak pernah ada mendengar pembicaraan- seperti itu. Sehingga 2 saksi hari ini sebenarnya mengonfirmasi bahwa keterangan yang disampaikan Wahyu kemarin itu tidak benar dan tidak ada,” tuturnya.

Nah, ini satu poin penting sebagai edukasi hukum bagi kita semua. Jangan sampai ada orang yang dituduh dengan metode-metode testimonium de auditu tersebut," tegasnya.

Febri juga menyoroti bagaimana asumsi dapat terbentuk dan kemudian dianggap sebagai fakta. Padahal, Saeful dari keterangan Tio telah sering dianggapnya mencatut nama, khususnya Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

“Bu Tio mengakui itu asumsi saya saja. Asumsi dari mana? Karena Saeful sering bilang begitu pada Bu Tio. Sedangkan tadi ditegaskan bahwa Saeful dari pertanyaan Bung Ronny ya, Saeful sering mencatut nama Pak Sekjen. Nah tentu hal-hal seperti ini tidak bisa kita pertahankan sebagai sebuah kebenaran materiil di persidangan,” urainya.

Ia menyimpulkan bahwa dua hari persidangan memberikan kejelasan dalam memilah antara fakta yang benar, asumsi, dan konstruksi yang tidak berdasar. Karena, langkah konstitusional yang diambil PDIP terkait kekosongan hukum menyangkut caleg terpilih, termasuk pengajuan judicial review ke Mahkamah Agung dan permintaan fatwa.

Pun mantan aktifis anti korupsi ini menilai bahwa permasalahan muncul karena KPU tidak melaksanakan putusan Mahkamah Agung dengan benar. Termasuk, dia menyinggung adanya pihak-pihak yang memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi dengan menjanjikan pengurusan perkara di KPU. 

"Jadi jalur konstitusional ini kemudian dibajak oleh kepentingan orang-orang tertentu. Nah yang terjadi sekarang seolah-olah jalur konstitusional tadi dicampuradukkan dengan yang kedua. Itu harus dipisahkan," pungkasnya.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto didakwa JPU KPK diduga telah melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dan peritangan penyidikan dalam kasus kepengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.

Hasto bersama dengan orang kepercayaanya yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 ribu Dollar Singapura (SGD) kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

Selanjutnya demi menghilangkan barang bukti, Hasto juga diduga memerintahkan Harun Masiku merendam ponselnya agar tidak terlacak KPK setelah diterbitkan surat perintah penyelidikan (Sprindik).

Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.sinpo

Editor: Sri Utami Setia Ningrum
Komentar: