17 Poin Catatan KPK Terkait RKUHAP

Oleh: Panji Septo R
Kamis, 17 Juli 2025 | 11:45 WIB
Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Beritanasional/Panji)
Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Beritanasional/Panji)

BeritaNasional.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan 17 poin yang belum sinkron dalam kerja pemberantasan korupsi dengan Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Acara Pidana (RKUHAP)

Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan 17 poin tersebut didapat dalam focus group discussion (FGD) bersama para pakar atau ahli hukum.

“Dalam perkembangan diskusi di internal KPK setidaknya ada 17 poin yang menjadi catatan dan ini masih terus kami diskusikan,” ujar Budi di Gedung Merah Putih, Kamis (17/7/2025).

Berikut 17 poin dan usulan KPK terkait RKUHAP berdasarkan dokumen yang diterima Beritanasional.com:

1. Lex Specialist RKUHAP Tak Sinkron

Prinsip lex specialis yang diakui Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2) RKUHAP berpotensi tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 329 dan Pasal 330 karena memuat norma ‘sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini’.

2. Penanganan Perkara Hanya Berdasarkan KUHAP

KPK berpedoman pada KUHAP, UU TPK dan UU KPK sehingga Pasal 327 huruf a dalam RKUHAP membuat lembaga antirasuah tak bisa berpedoman kepada peraturan atau acuan lain.

3. Penyelidik Tidak Diakomodir RKUHAP

KPK memiliki kewenangan melakukan penyelidikan, mengangkat, dan memberhentikan penyelidik. Hal itu bertentangan Pasal 1 nomor 7 dan Pasal 20 RKUHAP yang mengharuskan penyelidik hanya berasal dari Polri dan penyelidik diawasi penyidik Polri.

4. Penyelidikan Hanya Mencari dan Menemukan Peristiwa Tindak Pidana

KPK berpandangan definisi penyelidikan Pasal 1 angka 8 RKUHAP hanya mencari dan menemukan peristiwa tindak pidana tidak sinkron dengan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK yang mencangkup penemuan bukti permulaan sekurang-kurangnya 2.

5. Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti

Pasal 1 angka 40 tidak sejalan dengan angka 39 RKUHAP tentang definisi keterangan saksi sebagai alat bukti hanya didapat dari penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan tidak sinkron karena KPK bisa memperoleh sekurangnya 2 alat bukti pada tahap penyelidikan.

6. Dua Alat Bukti untuk Penetapan Tersangka

Penetapan tersangka ditentukan setelah Penyidik mengumpulkan dan memperoleh 2 alat bukti dinilai tidak sejalan dengan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK yang mengharuskan KPK memperoleh 2 alat bukti sejak tahap penyelidikan.

7. Penghentian Penyidikan Wajib Melibatkan Polri

UU KPK telah mengatur adanya penghentian penyidikan oleh KPK dan berdasarkan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 angka 6, maka penghentian penyidikan oleh KPK wajib diberitahukan kepada Dewan Pengawas.

8. Penyerahan Berkas Perkara Melalui Penyidik Polri

Pelimpahan berkas perkara dari Penyidik KPK kepada Penuntut Umum KPK telah diatur secara strict and clear outline dalam Pasal 52 UU KPK sehingga tidak sinkron dengan Pasal 7 ayat (5) dan Pasal 8 ayat (3) RKUHAP.

9. Penggeledahan Dibatasi untuk Tersangka

Definisi Penggeledahan Pasal 1 angka 28 RKUHAP tidak sejalan dengan Pasal 43 RKUHAP karena disebutkan bahwa objek yang diperiksa ‘dimiliki atau di bawah penguasaan seseorang’ sehingga tidak dibatasi ‘tersangka’. 

10. Penyitaan Dengan Permohonan Izin Ketua Pengadilan Negeri

Penyitaan oleh Penyidik KPK telah diatur dalam UU KPK dan tidak memerlukan izin Ketua Pengadilan Negeri. Pasalnya, penyitaan KPK diberitahukan kepada Dewan Pengawas dan hal tersebut dikuatkan Putusan MK. 

11. Penyadapan Hanya Pada Tahap Penyidikan

KPK mengatakan penyadapan merupakan upaya paksa dan kewenangan tindakan ini dilakukan sejak tahap penyelidikan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri. Upaya tersebut juga diberitahukan kepada Dewan Pengawas KPK.

12. Pencekalan Hanya untuk Tersangka

Pencekalan yang dilakukan KPK selama ini diterapkan kepada saksi sebagaimana diatur UU KPK karena keberadaan informasi dibutuhkan di dalam negeri agar penyidikan berjalan efisien dan baik. Selain itu, pencekalan juga bukan merupakan upaya paksa karena ada mekanisme keberatan.

13. Pokok Perkara Tidak Dapat Disidangkan Selama Praperadilan

KPK menilai Pasal 154 ayat (1) huruf e RKUHAP, tidak menutup kemungkinan untuk pemeriksaan Praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh Penuntut Umum jika diajukan permintaan baru.

14. Kewenangan KPK Dalam Perkara Koneksitas Tidak Diakomodir

KPK menegaskan memiliki kewenangan mengkoordinasikan dan mengendalikan perkara koneksitas. Hal itu dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi sehingga tak sesuai Pasal 161-164 RKUHAP. 

15. Perlindungan Terhadap Saksi Pelapor Hanya oleh LPSK

KPK memiliki kewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi dan pelapor perkara TPK dan Pelapor berhak meminta perlindungan kepada penegak hukum termasuk KPK (Pasal 12 PP 43/2018).

16. Penuntutan Di Luar Daerah Hukum Dengan Pengangkatan Sementara Jaksa Agung

KPK menegaskan penuntut lembaga antirasuah diangkat dan diberhentikan KPK dan memiliki kewenangan melakukan penuntutan di seluruh wilayah Indonesia.

17. Penuntut Umum Terdiri Atas Pejabat Kejaksaan dan Lembaga Yang Diberi Kewenangan Berdasarkan Ketentuan UU.

KPK menilai aturan tersebut sebaiknya ditulis pejabat KPK, bukan lembaga yang diberi kewenangan berdasarkan ketentuan undang-undang saja karena hal tersebut merupakan bagian dari penuntut umum.

 sinpo

Editor: Harits Tryan
Komentar: